Selamat Datang di Blog saya yang sederhana,Terima Kasih Atas Kunjungannya

Kamis, 28 Juni 2012

HIR (HET HERZIENE INDONESISCH REGLEMENT)


HIR
(HET HERZIENE INDONESISCH REGLEMENT)

HAL MENGADILI PERKARA PERDATA YANG TERMASUK WEWENANG PENGADILAN NEGERI

BAG I
Pasal 118
(1) Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangani oleh penggugat, atau wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, maka ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya. (KUHPerd 15).
(2) Jika yang di gugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal didaerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya, “maka tanpa mengurangi ketentuan Pasal 6 ayat (2) Reglement susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia” tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal debitur utama atau salah satu debitur utama.
(3) Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajaukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.
(4) Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan gugatannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (KUHPerd 24).

Pasal 119
Ketua PN berkuasa memberi nasehat dan bantuan kepada penggugat atau wakilnya dalam hal mengajukan tuntutan.

Pasal 120
Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua PN; ketua akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya.

Pasal 120 a
(1) Jika tuntutan itu berhubungan dengan perkara pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim desa, penggugat harus menyebutkan isi keputusan itu dalam tuntutannya; kalau dapat, salinan putusan itu hendaklah disertakan.
(2) Pada waktu atau setelah tuntutan itu diterima atau pada waktu persidangan mulai, ketua pengadilan negeri akan mengingatkan penggugat mengenai kewajibannya yang diterangkan ayat (1).

Pasal 121
(1) Sesudah surat tuntutan yang diajukan itu atau cacatan yang dibuat itu didaftarkan oleh panitera pengadilan dalam daftar untuk itu, maka ketua itu akan menentukan hari dan jam perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan memerintahkan pemanggilan kedua belah pihak, supaya hadir pada waktu yang ditentukan itu disertai oleh saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa, dengan membawa segala surat keterangan yang hendak dipergunakan.
(2) Ketika memanggil si tergugat, hendahlah diserahkan juga sehelai salinan surat tuntutan, dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, boleh menjawab tuntutan itu dengan surat.
(3) Perintah yang disebut dalam ayat pertama itu dicatat dalam daftar yang disebut dalam ayat itu, demikian juga pada surat tuntutan yang asli.
(4) Pencatatan dalam daftar termasuk dalam ayat (1), tidak boleh dilakukan, kalau kepada panitera pengadilan belum dibayar sejumlah uang, yang untuk sementara banyaknya ditafsir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan biaya kantor panitera pengadilan dan biaya panggilan serta pemberitahuan yang dlakukan kepada kedua belah pihak dan harga materei yang akan dipakai; uang yang dibayar itu akan diperhitungkan kemudian.

Pasal 122
Dalam menentukan hari persidangan, ketua hendaklah mengingat jauhnya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri persidangan, dan waktu antara hari pemanggilan kedua belah pihak dan hari persidangan lamanya tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari kerja, kecuali jika perkara itu perlu bener lekas diperiksa dan hal itu disebutkan dalam surat perintah itu.

Pasal 123
(1) Kedua belah pihak, kalau mau, masing-masing boleh dibantu atau diwakili oleh seorang yang harus dikuasakannya untuk itu dengan surat kuasa khusus, kecuali pemberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan diajukan menurut Pasal 118 ayat (1) atau pada tuntutan yang dikemukakan dengan lisan menurut Pasal 120 ; dan dalam hal terahir ini, itu harus disebutkan dalam catatan tentang tuntutan itu.
(2) Pejabat yang karena peraturan umum dari pemerintah harus mewakili Negara dalam perkara hukum tidak perlu memakai surat kuasa khusus itu.
(3) Pengadilan negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak, yang diwakili oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri. Kekusaan itu tidak berlaku bagi pemerintah (gubernur jendral) (KUHPerd1793).

Pasal 124
Jika penggugat tidak datang menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil secara sah, pula tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakil wakilnya, maka tuntutannya dianggap gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara ; tetapi ia berhak mengajukan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar biaya perkara tersebut.

Pasal 125
(1) Jika tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (VERSTEK), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan.
(2) Akan tetapi jika si tergugat, dalam surat jawabannya tersebut pada Pasal 121, mengemukakan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi tersebut, sesudah mendengar penggugat itu ; hanya jika eksepsi tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh memutus perkara itu.
(3) Jika tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan atas perintah ketua, harus diberitahukan kepada si terhukum, dan harus diterangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan terhadap keputusan tak hadir dimuka majelis pengadilan itu dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada Pasal 129.
(4) Panitera pengadilan akan mencatat di bawah keputusan tak hadir itu, siapa yang diperintahkan menyampaikan pemberitahuan dan keterangan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.

Pasal 126
Dalam hal tersebut pada ke-dua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak yang datang ; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan.

Pasal 127
Jika seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak yang hadir, dan bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan; sedang si tergugat yang tidak datang, atas perintah ketua, harus dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan, yang terhadapnya tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran (Rv.81)

Pasal 128
(1) Keputusan hakim yang dijatuhkan dengan keputusan tanpa kehadiran, tidak boleh dijalankan sebelum lewat 14 hari sesudah pemberitahuan tersebut pada pasal 125.
(2) Jika sangat perlu atas permintaan penggugat, entah permintaan lisan entah permintaan tertulis, ketua boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dilaksanakan sebelum lewat jangka waktu itu, entah dalam keputusan itu, entah sesudah keputusan itu dijatuhkan. (Rv.82)

Pasal 129
(1) Tergugat yang dihukum dengan keputusan tanpa kehadiran dan tidak menerima keputusan itu boleh mengajukan perlawanan (VERZET).
(2) Jika keputusan hakim itu diberitahukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu hanya boleh diterima dalam 14 hari sesudah pemberitahuan itu. Jika keputusan hakim itu diberitahukan bukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu boleh diterima sampai pada hari kedelapan sesudah teguran tersebut pada pasal 196, atau dalam hal ia tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari kedelapan sesudah dijalankan surat perintah ketua tersebut pada Pasal 197. (Rv. 83).
(3) Tuntutan perlawanan itu diajukan dan diperiksa dengan cara biasa bagi perkara perdata.
(4) Jika tuntutan perlawanan itu telah diajukan kepada pengadilan negeri, maka keputusan hakim itu tidak boleh dilaksanakan untuk sementara waktu, kecuali jika diperintahkan menjalankannya walaupun ada perlawanan.
(5) Jika kepada tergugat dijatuhkan keputusan tanpa kehadiran untuk kedua kalinya, maka kalau ia mengajukan pula perlawanan terhadap keputusan tanpa kehadiran, perlawanannya tidak akan diterima.

Pasal 130
(1) Jika ada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri, dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu.
(2) Jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan sebagai keputusan hakim yang biasa.
(3) Terhadap keputusan yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding.
(4) Jika pada waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu dipakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.

Pasal 131
(1) Jika kedua belah pihak datang, tetapi tidak dapat diperdamaikan ( hal ini harus disebutkan dalam berita acara persidangan ), maka surat yang diajukan oleh kedua belah pihak itu harus dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham akan bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat itu harus diterjemahkan kedalam bahasa pihak yang tidak mengerti itu oleh seorang juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua.
(2) Sesudah itu, pengadilan negeri memeriksa penggugat dan tergugat, kalau perlu dengan memakai seorang juru bahasa pula.
(3) Juru bahasa itu, jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, harus disumpah di hadapan ketua, bahwa ia akan menerjemahkan apa yang harus diterjemahkan itu dengan tulus.
(4) Pasal 154 ayat (3)berlaku juga bagi juru bahasa. (Rv.33).

Pasal 132
Jika dianggap perlu oleh ketua demi kebaikan dan keteraturan jalannya pemeriksaan perkara, maka pada waktu memeriksa perkara ia berhak memberi nasehat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukkan upaya hukum dan keterangan yang dapat mereka pergunakan.

Pasal 132 a
(1)    Dalam tiap-tiap perkara, tergugat berhak mengajukan tuntutan balik (REKONVENSI), kecuali; (Rv.244)
i.        Bila penggugat semula itu menuntut karena suatu sifat, sedangkan tuntutan balik itu mengenai dirinya sendiri, atau sebaliknya ; (KUHperd 383, 452, 1655)
ii.    Bila pengadilan negeri yang memeriksa tuntutan asal tidak berhak memeriksa tuntutan balik itu, berhubung dengan pokok perselisihan itu.
iii.   Dalam perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.
(2)    Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan tuntutan balik maka dalam banding tak boleh lagi diajukan tuntutan itu.

Pasal 132 b
(1) Si tergugat wajib memasukkan tuntutan balik bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan. (Rv.245)
(2) Untuk tuntutan balik itu berlaku pula peraturan-peraturan dalam berikut ini.
(3) Kedua perkara diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan hakim, kecuali kalau pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dahulu daripada yang lain ; dalam hal ini kedua perkara itu boleh diperiksa satu persatu, tetapi tuntutan asal dan tuntutan balik yang belum diputuskan itu tetap diperiksa oleh hakim yang sama, sampai dijatuhkan keputusan akhir. (Rv.246)
(4) Orang boleh naik banding, jika banyaknya uang dalam tuntutan asal ditambah uang didalam tuntutan balik lebih daripada jumlah uang yang boleh diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi. (Rv.247).
(5) Jika kedua perkara itu dipisahkan dan diputus sendiri-sendiri, maka harus dituruti peraturan biasa tentang hak naik banding itu. (Rv.247)

Pasal 133
Jika si tergugat dipanggil menghadap ke pengadilan negeri, sedang menurut pasal 118 ia tidak usah menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia meminta supaya hakim menyatakan diri tidak berwenang dalam hal itu, asal saja permintaan itu diajukan dengan segera pada permulaan persidangan pertama ; permintaan itu tidak akan diperhatikan lagi jika si tergugat telah mengadakan suatu perlawanan lain. (Rv.131)

Pasal 134
Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak termasuk wewenang PN, maka pada sembarang waktu pada pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku tidak berwenang, dan hakim itu pun dengan jabatannya, wajib pula mengaku tidak berwenang. (Rv.132)

Pasal 135
Jika tidak ada jawaban yang menyatakan hakim itu tidak berwenang, atau jika jawaban demikian ada tetapi ditimbang tidak benar, maka pengadilan negeri, sesudah mendengar kedua belah pihak, harus segera memeriksa dengan seksama dan adil kebenaran tuntutan yang dibantah itu dan sah nya pembelaan terhadap tuntutan itu.

Pasal 135 a
(1) Jika tuntutan itu menyangkut perkara pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim desa, maka pengadilan negeri harus mengetahui keputusan itu, dan sedapat-dapatnya juga alas an-alasannya.
(2) JIka tuntuta itu menyangkut perkara pengadilan yang belum diputuskan oleh hakim desa, sedang pengadilan negeri memandang ada faedahnya perkara itu diputuskan oleh hakim desa, maka hal itu diberitahukan oleh ketua kepada penggugat dengan memberikan selembar surat keterangan ; pemeriksaan perkara itu lantas diundurkan sampai pada hari persidangan berikut, yang akan ditetapkan oleh ketua, kalau perlu perlu atas kuasa jabatannya.
(3) Jika hakim desa telah menjatuhkan keputusan, maka bila penggugat menghendaki pemeriksaan itu dilanjutkan, haruslah ia memberitahukan isi keputusan itu kepada pengadilan negeri, sedapat mungkin dengan memberikan salinannya; sesudah itu, barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(4) Jika 2 (dua) bulan sesudah penggugat mengajukan perkaranya hakim desa belum juga menjatuhkan keputusannya, maka atas permintaan penggugat, perkara itu akan diperiksa kembali oleh pengadilan negeri.
(5) Jika penggugat menurut pertimbangan hakim, tidak dapat memberi cukup alasan yang dapat diterima tentang penolakan hakim desa untuk menjatuhkan keputusan, maka tim itu harus meyakini keadaan itu karena jabatan.
(6) Jika ternyata bahwa penggugat tidak membawa perkara itu kepada hakim desa, maka gugatannya dianggap gugur. (RO 3)

Pasal 136
Eksepsi (tangkisan) yang dikemukakan oleh si tergugat, kecuali tentang hal hakim tidak berwenang, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang sendiri-sendiri, melainkan harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara (Rv 135)

Pasal 137
Masin-masing pihak boleh menuntut untuk melihat surat keterangan pihak lawannya, yang harus diserahkan kepada hakim untuk maksud itu.

Pasal 138
(1) Jika salah satu pihak membantah kebenaran surat keterangan yang diserahkan pihak lawannya, maka pengadilan negeri dapat memeriksa hal itu; sesudah pemeriksaan itu harus diputuskannya, apakah surat itu boleh dipakai dalam perkara itu atau tidak.
(2) Jika ternyata bahwa dalam pemeriksaan itu perlu digunakan surat yang dipegang oleh penyimpan umum, maka pengadilan negeri akan memerintahkan supaya surat itu diperlihatkan kepada pengadilan negeri di persidangan yang akan ditentukan untuk itu.
(3) Jika ada keberatan untuk memperlihatkan surat itu, baik karena sifat surat itu, maupun karena jauhnya tempat tinggal penyimpan itu, maka pengadilan negeri akan memerintahkan, supaya pemeriksaan itu dijalankan oleh pengadilan negeri atau oleh kepala pemerintahan setempat (assistant resident) di tempat tinggal si penyimpan itu, atau supaya surat itu dikirimkan kepada ketua itu menurut cara yang ditentukan olehnya. Pengadilan negeri tersebut terakhir atau kepala pemerintahan setempat itu harus membuat berita acara pemeriksaan itu dan mengirimkannya kepada pengadilan negeri tersebut yang pertama.
(4) Si penyimpan yang tanpa alasan yang sah tidak mentaati perintah untuk memperlihatkan surat
(5) Jika surat itu tidak menjadi bagian sebuah daftar, maka penyimpan sebelum memperlihatkan atau memngirimkannya, harus membuat salinannya sebagai pengganti surat asli selama surat itu belum diterima kembali. Di bawah salinan itu si penyimpan harus dicatat sebab salinan itu dibuat, dan pada grose dan salinan yang akan diberikan dari surat itu harus disebut catatan itu.
(6) Semua biaya untuk itu harus dibayar kepada si penyimpan oleh pihak yang mengajukan surat yang dibantah itu, banyaknya biaya itu di taksir oleh ketua PNyang memutuskan perkara itu.
(7) Jika pemeriksaan tentang surat yang diajukan itu menimbulkan dugaan bahwa surat itu di palsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri akan mengirimkan segala surat perkara kepada pejabat yang berkuasa menuntut kejahatan itu.
(8) Perkara yan diajukan ke PN, ditangguhkan dulu sampai diambil keputusan mengenai perkara pidana itu.

Pasal 139
(1) Jika penggugat menghendaki kebenaran tuntutan diteguhkan dengan saksi, atau tergugat menghendaki kebenaran perlawanannya diteguhkan dengan saksi, tetapi saksi itu tidak dapat dibawa menurut peraturan pasal 121 karena tidak mau menghadap atau karena sebab lain, maka PN harus menentukan hari persidangan lain untuk memeriksa saksi, dan menyuruh seorang pegawai yang berwenang untuk memanggil saksi yang tidak mau menghadap itu
(2) Panggilan serupa disampaikan juga kepada saksi yang menurut perintah yang diberikan karena jabatannya akan diperiksa oleh PN.

Pasal 140
(1) (1)Jika saksi yang dipanggil dengan cara demikian juga tidak datang pada hari yang ditentukan, maka ia harus dihukum oleh PN untuk membayar segala biaya yang telah dikeluarkan dengan sia-sia.
(2) Ia harus dipanggil sekali lagi atas biaya sendiri.

Pasal 141
(1) Jika saksi yang dipanggil sekali lagi itu tidak juga datang, maka ia harus dihukum sekali lagi membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan kergian yang diderita kedua pihak karena ia tidak datang (KUHPerd 1366).
(2) Tambahan lagi, ketua dapat memerintahkan supaya saksi yang tidak datang itu dibawa polisi mnghadap PN untuk memenuhi kewajibannya.

Pasal 142
Jika saksi yang tidak datang itu menerangkan, bahwa ia tidak memenuhi panggilan karena alasan yang sah, maka sesudah diterangkannya hal itu, PN wajib menghapus hukuman yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 143
(1) Siapapun tidak boleh dipaksa menghadap PN untuk memberikan kesaksian dalam perkara perdata, jika pengadilan negeri itu berkedudukan di luar kerisedenan tempat saksi berdiam atau tinggal.
(2) Jika saksi yang demikian dipanggil, tapi tidak datang, maka tidak boleh dihukum karena itu pemeriksaan harus dilimpahkan  kepada PN (mahkamah pengadilan yang setingkat), yang dalam daerah hukumnya saksi itu berdiam atau tinggal dan majelis itu wajib segera mengirimkan berita acara pemeriksaan kepada PN yang memeriksa perkara itu.
(3) Pelimpahan yang demikian itu boleh juga langsung dilakukan tanpa harus memanggil saksi itu lebih dahulu.
(4) Berita acara itu dibacakan dalam persidangan.

Pasal 144
(1) Saksi-saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang.
(2) Ketua akan menanyakan nama, pekerjaan, umur dan tempat berdiam atau tempat tinggal masing-masing, ia akan menanyakan pula bahwa mereka berkeluarga sedarah atau semenda dengan salah satu atau kedua belah pihak, dan jika benar demikian, dalam derajad keberapa; selain itu akan dipertanyakan pula, adakah mereka menjadi pembantu salah satu pihak.

Pasal 145
(1) Yang tidak didengar sebagai saksi adalah;
a.    Keluarga sedarah dan keluarga semenda, salah satu pihak dalam garis lurus;
b.    Istri dan suami salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c.    Ank-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 tahun;
d.    Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
(2)       Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.
(3)       Orang tersebut dalam pasal 146 pada nomer (1) dan (2), tidak berhak mengundurkan diri dari tugas member kesaksian dalam perkara tersebut dalam ayat diatas ini.
(4)       PN berkuasa untuk melakukan pemeriksaan tanpa sumpah terhadap anak-anak tersebut pada ayat pertama, atau orang gila yang kadang-kadang ingatannya terang; tetapi keterangan mereka itu hanya boleh dipandang sebagai penjelasan saja (KUHPerd 1910--1912).

Pasal 146
(1) Yang boleh mengundurkan diri dari memberian kesaksian adalah (KUHPerd 1909).
a.    Saudara dan ipar salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan;
b.    Keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
c.    Sekalian orang yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya itu.
(2) PN lah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seseorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia

Pasal 147
Jika saksi itu tidak mengundurkan diri dari tugas memberi kesaksian, atau jika pengundurannya dinyatakan tidak beralasan, maka sebelum memberi keterangan, ia harus disumpah menurut agamanya (KUHPerd 1991)

Pasal 148
Kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 146, jika seorang saksi menghadap persidangan, teatapi enggan disumpah atau enggan memberikan keterangan, maka atas perintah pihak yang berkepentingan, ketua boleh memberi perintah, supaya saksi itu disandera atas biaya pihak yang berkepentingan itu, sampai saksi memenuhi kewajibannya.

Pasal 149
Jika saksi yang dipanggil itu termasuk bangsa Eropa, maka hukuman tersebut dalam pasal 140 dan dalam pasal 141 ayat (1), perintah tersebut dalam pasal 141 ayat (2), serta keputusan tersebut 146 ayat penghabisan, dijatuhkan oleh ketua sendiri tanpa bantuan hakim anggoata bangsa Indonesia.

Pasal 150
(1) Pertanyaan yang ingin diajukan oleh salah satu pihak kepada saksi, harus diberitaukan kepada ketua.
(2) Jika diantara pertanyaan itu ada yang tidak berguna dalam perkara itu menurut pertimbangan pengadilan, maka pertanyaan itu tidak boleh diajukan kepada saksi.
(3) Atas kemauannya sendiri, hakim boleh mengajukan kepada saksi itu semua pertanyaan yang timbangnya berguna untuk mencapai kebenaran.

Pasal 151
Peraturan pada Pasal 284 tentang Pasal 285 saksi pada perkara PIDANA berlaku juga dalam hal ini.
Pasal 284
(1) Jika tertuduh atau saksi tidak paham akan bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan pengadilan itu, maka ketua harus mengangkat seorang juru bahasa, dan menyuruh dia bersumpah kalau ia bukan juru bahasa PN yang memegang sudah di sumpah akan menerjemahkan dengan benar apa yang harus diterjemahkan dari satu bahasa kebahasa lain.
(2) Barang siapa tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, juga tidak boleh menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Pasal 285
(1) Jika tertuduh itu bisu tuli dan tidak pandai menulis, maka ketua harus mengangkat orang yang pandai bergaul dengan tertuduh itu sebagai juru bahasa, asal orang itu sudah cukup umur untuk menjadi saksi.
(2) Demikian pula harus diperbuat, jika seorang saksi bisu tuli dan tidak pandai menulis.
(3) Jika yang bisu tuli itu pandai menulis, maka ketua harus menuliskan semua pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan kepada tertuduh atau saksi yang bisu tuli itu, dengan perintah untuk menuliskan jawabannya; kemudian semuanya harus dibacakan.
(4) Peraturan pasal ini berlaku juga bagi orang yang untuk sementara tidak dapat mendengar atau bicara.

Pasal 152
Keterangan saksi yang diperiksa dalam suatu persidangan dicatat dalam berita acara persidangan itu oleh panitera pengadilan.

Pasal 153
(1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau dua komisaris dari dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya; berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan paniera pengadilan itu.

Pasal 154
(1) Jika PN menganggap perkara itu dapat menjadi lebih terang kalau diperiksa atau dilihat oleh ahli, maka ia dapat mengangkat ahli itu, baik atas permintaan keduabelah pihak, maupun karena jabatannya.
(2) Dalam hal demikian, akan ditentukan hari persidangan, supaya pada hari itu ahli itu memberi laporan, baik dengan surat maupun dengan lisan, dan meneguhkan laporan itu dengan sumpah.
(3) Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh diangkat menjadi ahli.
(4) PN sama sekali tidak wajib menuruti pendapat ahli itu, jika pendapat itu berlawanan dengan kenyakinannya.

Pasal 155
(1) Jika kebenaran tuntutan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terbukti, tetapi tidak pula sama sekali tidak terbukti dan tidak mungkin diteguhkan dengan upaya pembutian yang lain, maka PN, karena jabatan, boleh menyuruh salah satu pihak bersumpah dihadapan hakim, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
(2) Dalam hal terakhir ini, PN harus menentukan jumlah uang yang dapat dipercaya sebagai hak penggugat karena sumpahnya. (KUHPerd 1940).

Pasal 156
(1) Sekalipun tidak ada suatu barang bukti yang dibawa untuk meneguhkan tuntutan atau perlawanan atas tuntutan itu, boleh juga salah satu pihak meminta pihak lain untuk bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu, asal sumpah itu menyangkut suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang kepadanya sumpahnya bergantung keputusan perkara itu. (KUHPerd 1929, 1931)
(2) Jika perbuatan itu satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka pihak yang tidak mau bersumpah boleh mengembalikan sumpah itu kepada pihak lawannya. (KUHPerd 1932).
(3) Barang siapa disuruh bersumpah tetapi enggan bersumpah atau enggan mengembalikan sumpah itu kepada pihak lawannya, dan barang siapa menyuruh bersumpah tetapi enggan bersumpah sesudah sumpah itu dikembalikan kepadanya harus dikalahkan. (KUHPerd 1932).

Pasal 157
Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang dituntut atau dikembalikan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya, harus diangkat sendiri, kecuali kalau PN karena alasan yang penting, memberi izin kepada salah satu pihak untuk menyuruh bersumpah seorang wakilnya yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu; kuasa itu hanya boleh diberi dengan akta otentik yang memuat sumpah yang akan diangkat itu secara tepat dan lengkap. (1793-1945).

Pasal 158
(1) Pengangkatan sumpah itu hanya boleh dilakukan dalam persidangan di PN, kecuali  jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang sah; dalam hal yang demikian, ketua PN dapat memberikan kuasa kepada salah seorang anggota, supaya dengan bantuan panitera pengadilan yang akan membuat berita acara tentang hal itu, disumpahnya pihak yang berhalangan itu dirumahnya. (KUHPerd 1944)
(2) Sumpah itu hanya boleh diambil di hadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu dipanggil dengan sah. (KUHPerd 1945).

Pasal 159
(1) Jika suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada hari persidangan pertama, maka pemeriksaan perkara diundur sampai pada hari persidangan yang lain, yang sedapat-dapatnya tidak berapa lama kemudian dan demikian juga seterusnya.
(2) Pengunduran itu harus diberitahukan dalam persidangan dihadapan kedua belah pihak; bagi mereka keputusan itu berlaku sebagai penggilan.
(3) Jika salah satu pihak yang datang pada persidangan pertama tak datang pada persidangan kemudian, pada waktu mana diperintahkan penangguhan yang baru, maka ketua pengadilan wajib menyuruh memberitahukan kepada pihak itu, jalan persidangan akan dilanjutkan.
(4) Penangguhan tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah pihak, pula tidak boleh diperintahkan oleh PN karena jabatanya kalau tidak perlu benar.

Pasal 160
(1) Jika pada waktu perkara ada suatu perbuatan yang harus dikerjakan, sedang biayanya menurut pasal 182 harus dibebankan kepada pihak yang kalah, maka ketua boleh memerintahkan supaya salah satu pihak membayar lebih dahulu biaya itu di kantor panitera di pengadilan, tanpa mengurangi hak pihak yang lain untuk membayar dulu atas kemauannya sendiri.
(2) Jika kedua belah pihka enggan membayar dahulu dan percuma saja ketua member nasehat untuk itu, maka perbuatan yang diperintahkan itu, kecuali jika diwajibkan oleh undang-undang, tidak dilakukan, dan pemeriksaan perkara diteruskan, kalau perlu pada persidangan lain, yang akan ditetapkan oleh ketua dan diberitahukan kepada kedua belah pihak.

Pasal 161
(1)           Jika perkara itu sudah diselesaikan demikian rupa sehingga semua hal menjadi jelas, entah dalam persidangan pertama, atau dalam persidangan kemudian, maka PN menyuruh keluar kedua belah pihak, para saksi dan para pendengar, lalu meminta pertimbangan penasehat, yang hadir pada waktu perkara itu diperiksa dalam persidangan menurut pasal 7 “Reglement susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia”
(2)           Kemudian diadakan permusyawaratan dan diambil keputusan menurut peraturan pasal 39 dan 40 “Reglement susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia”

BAG KE II
BUKTI


Pasal 162
Tentang bukti dan hal menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, PN wajib memperhatikan peraturan pokok tersebut di bawah ini.

Pasal 163
Barang siapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. (KUHPerd 1865).

Pasal 164
Alat-alat bukti, yaitu    :
v    Bukti tertulis. (KUHPerd 1867)
v    Bukti Saksi. (KUHPerd 1895)
v    Persangkaan. (KUHPerd 1951)
v    Pangakuan. (KUHPerd 1923)
v    Sumpah. (KUHPerd 1929)

Semuanya dengan memperhatikan peraturan yang diperintahkan dalam pasal-pasal berikut berikut. (KUHPerd 1866)

Pasal 165
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masing-masing serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan tentang hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan; tetapi yang tersebut terahir ini hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung menyangkut pokok akta itu. (KUHPerd 1868, 1870).

Pasal 166    DICABUT
Pasal 167