PERIKATAN-PERIKATAN MANA SUKA ATAU PERIKATAN YANG BOLEH DIPILIH OLEH SALAH SATU PIHAK
PERIKATAN PADA UMUMNYA
Perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu
berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.
Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian
perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak,
sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.
Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu
keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan
negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang
baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian
untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi
perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan
suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya
terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua
syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga
dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama
(kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal
tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut
adalah batal demi hukum.
Suatu
persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu
persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat
pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam
surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat
itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca
surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena
perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali
tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting
untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan
undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut,
misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu
peijanjian jual beli.
Tempat
tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku
sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal
yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.
Perjanjian
harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan
hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk
terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi
merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini
dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian
dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kata sepakat.
Syarat
pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian
sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat
ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun
sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan
akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum
atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya
pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas
kepribadian. Dalam
praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur.
Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau
menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau
menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Causa
dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan
adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan
adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat
dinyatakan sah.
Secara
mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata
sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi
kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat
juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
PERIKATAN MANASUKA
Dalam Perikatan Manasuka, objek
prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur
telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan
objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima
benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi
salah satu dari dua benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan
perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini
tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata).
Misalnya, A memesan barang
elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko barang elektronik
dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang tersebut dapat
memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan bahwa A
yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan kepda A bahwa barang
pesanan sudah tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua benda
objek perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan memerima dari salah
satu benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi
objek perikatan itu hilang atau tidak dapat diserahkan atau musnah, maka
perikatan itu menjadi murni dan bersyahaja. Jika kedua benda itu hilang dan
debitur bersalah tentang hilangnya salah satu benda itu, debitur harus membayar
harga benda yang hilang paling akhir (pasal 1274 dan 1275 KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur
dan hanya salah satu benda saja yang hilang, maka jika itu terjadi bukan karena
kesalahan debitur, kreditur harus memperoleh benda yang masih ada. Jika salah
satu benda tadi terjadi karena kesalhan debitur, maka kreditur boleh menuntut
pembayaran harga salah satu menurut pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda
atau kedua benda itu karena kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip
dasar di atas ini berlaku, baik jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam
perikatan maupun jika perikatan bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277
KUH perdata). Melakukan perbuatan, misalnya dalam perikatan mengerjakan
bangunan dan melakukan pengangkutan barang. Disini debitur boleh memilih
mengerjakan bangunan atau melakukan pengangkutan barang ke lokasi bangunan.
Selain dari perikatan manasuka
(alternatif), ada lagi yang disebut perikatan fakultatif, yaitu perikatan
dengan mana debitur wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain
yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek saja. Apabila
debitur tidak memenuhi prstasi itu, ia dapat menganti dengan prestasi lain.
Misalnya A berjanji kepada B untuk meminjamkan kendaraannya guna melaksankan
penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan kendaraannya karena rusak, ia
dapat menganti dengan sejumlah uang biaya transportasi penelitian itu. Perbedaan
antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif adalah sebagai berikut
:
1. Pada
perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus menyerahkan
salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif hanya satu
benda saja yang menjadi prestasi.
2. Pada
perikatan alternatif jika benda yanmg satu hilang, benda yang lain menjadi
penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa.
perutangan menjadi lenyap.
Adalagi yang disebut perikatan
generik, yang objeknya dutentukan oleh jenisnya, misalnya beras Cianjur, Kuda
Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif ialah jika periktan generik
objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin. Sedangkan pada perikatan
alternatif objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak homogen. Keberatan
perikatan generik ialah debitur tidak perlu memberikan benda prestasi itu yang
terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata). Benda yang
menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika sekurang-kurangnya dapat
ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Rasyid Saliman, Hukum
Bisnis untuk perusahaan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
J.Satrio, Hukum
perikatan, Bandung, PT. Alumni, 1999
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta, 2002
Salim H.S. Hukum Kontrak,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006.
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia,
Jakarta, Djambatan, 2009
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata