Sejak awal
berdiri, advokat selalu terbelah. Dulu, organisasi advokat terbelah karena ada
campur tangan pemerintah. Tapi kini terpecah karena ulah advokat sendiri.
16 November 1985. Ini hari kedua berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas)
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Ini juga hajatan pertama sejak Ikadin
terbentuk. Kebetulan, Ikadin adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan
wadah tunggal buat advokat. Tapi, walau Munas pertama, suasana tegang dan ricuh
tetap berlangsung. Sesama advokat saling serang. Bahkan menjurus pertarungan
fisik. Majalah Tempo edisi 16 November 1985 menuliskannya. Begini gambarannya.
Ketegangan
muncul lagi setelah suara untuk formatir terumpul dan dewan promatir
ditetapkan. Sebab, sebagian besar pendukung Harjono meminta agar ketua umum
ditetapkan saja, Harjono, sebagai formatir yang mendapat suara terbanyak.
Permintaan itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang menentang
Harjono. Perang mulut antara kedua kelompok melalui lima pengeras suara, yang
kadang-kadang dipakai bersamaan, hampir tak terkuasai oleh pemimpin sidang.
Munas itu
akhirnya berhasil memilih Harjono Tjitrosoebono sebagai ketua umum dan Albert
Hasibuan jadi sekretarisnya. Kala itu, organisasi advokat itu nyaris pecah.
Ikadin pun muncul sebagai satu-satunya organisasi buat advokat. Dia jadi wadah
tunggal.
Munculnya Ikadin bukan tanpa cerita. Karena sebelumnya sudah ada organisasi advokat. Namanya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Organisasi advokat ini dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Pelopornya adalah beberapa advokat kawakan. Ada nama-nama seperti Iskak Tjokrohadisurjo, Mohammad Roem, Lukman Wiradinata, Abidin, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Sukardjo, Yap Thiam Hien, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak dan lainnya. Mereka ini tergolong generasi pertama advokat Indonesia. Kala itu advokat Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai anggota muda.
Dalam
perjalannya, Peradin ternyata memiliki lawan. Tapi bukan dari kalangan advokat
lainnya. Melainkan dari pemerintah selaku penguasa. Pasalnya advokat yang
tergabung dalam Peradin sering berhadap-hadapan dengan pemerintah. Banyak kasus
besar yang dibela oleh advokat yang tergabung disana. Alhasil kalangan penguasa
Orde Baru “kepanasan” dengan organisasi advokat itu. Peradin kemudian jadi
organisasi yang dicurigai Kopkamtib. Alhasil, kalangan penguasa mulai
menyusupi.
Tak bisa
dipungkiri, ada kehendak pemerintah agar Peradin terpecah. Memang, sekitar
tahun 1978, terbentuk organisasi advokat tandingannya. Namanya Pusat Bantuan
dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadi). Ketuanya adalah RO Tambunan. Sejak itu,
advokat pun terbelah jadi dua. Antara Peradin dan Pusbadi.
Ketua
Mahkamah Agung saat itu, Ali Said, mencoba menyatukan semua organisasi advokat
itu. Dia memanggil seluruh pimpinan organisasi advokat yang ada. Namun, sampai
masa jabatan Ali habis, advokat belum juga bersatu. Baru di era kepemimpinan
Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, usaha itu dilakukan kembali. Tahun 1985
itulah, kali pertama dibuat kongres yang diikuti seluruh advokat dari beragam
organisasi. Maka terbentuklah yang namanya Ikadin tadi. Kala Munas itulah,
suasana perang antar advokat tak terelakkan. Antara kubu Peradin dan Pusbadi
saling sikut untuk dapat posisi ketua Ikadin. Karena anggota Peradin masih
terbanyak, maka yang terpilih adalah Harjono.
Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang keduakalinya. Acaranya digelar di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Disini cerita saling sikut sesama advokat justru memuncak. Menjelang Munas, dua kubu langsung terbentuk. Ada kelompok Harjono dan kubunya Gani Djemat. Keduanya ternyata bernafsu untuk duduk sebagai Ketua Ikadin yang dipilih dalam Munas nantinya. Harjono ditopang anggota Ikadin yang lama. Sementara kubu Djemat banyak disokong advokat dari Jakarta. Ada nama-nama Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Yan Apul Girsang dan lainnya. Mereka inilah yang tim sukses buat Djemat.
Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang keduakalinya. Acaranya digelar di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Disini cerita saling sikut sesama advokat justru memuncak. Menjelang Munas, dua kubu langsung terbentuk. Ada kelompok Harjono dan kubunya Gani Djemat. Keduanya ternyata bernafsu untuk duduk sebagai Ketua Ikadin yang dipilih dalam Munas nantinya. Harjono ditopang anggota Ikadin yang lama. Sementara kubu Djemat banyak disokong advokat dari Jakarta. Ada nama-nama Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Yan Apul Girsang dan lainnya. Mereka inilah yang tim sukses buat Djemat.
Kala Munas
berlangsung, pertarungan dua kubu benar terjadi. Bahkan sampai adu fisik. Simak
laporan majalah Tempo edisi 4 Agustus 1990 soal kejadian Munas kala itu. Pernyataan
Rudhy diikuti teriakan silih berganti dari para pendukung Djemat lainnya.
“Bubar” kata Palmer Situmorang. Belasan rekannya, sesama pendukung Djemat,
berhamburan di meja pemimpin sidang. “Turun”, teriak mereka. Beberapa panitia
mencoba merebut corong pengeras suara dari tangan Rudhy. Pria gempal itu
bertahan, sementara rekan-rekannya melindunginya.
Di
tengah kekalutan itu, terdengar suara pukulan mendarat diwajah seseorang. “Plak”.
Tampak salah seorang panitia, Tommy Sihotang, memburu John H Waliry. “Gua
dipukul,” teriak Tommy. Herannya John malah mengaku dipukul lebih dulu, entah
oleh siapa. Ini mungkin khas advokat, yang memukul dan yang dipukul sama-sama
mengaku jadi korban.
Kekacauan
semakin menjadi. Di sisi kiri, Palmer berteriak-teriak dan menyenggolkan
sikutnya ke meja minuman. Delapan gelas jatuh, pecah berantakan. Akhirnya,
situasi dapat diredakan setelah petugas kepolisian dan beberapa ABRI berpakaian
preman turun tangan.
Kekacauan itu berlangsung waktu akan dilangsungkannya pemilihan ketua umum. Dua kubu yang berseteru, mulanya berdebat panjang soal mekanismenya. Kubu Harjono setuju bila pemilihan dilakukan dengan sistem suara yang diwakili oleh masih-masing Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang hadir. Artinya tidak semua advokat peserta Munas memilih. Hanya ketua dari masing-masing DPC saja. Dasar hukumnya ada. Mereka merujuk pada hasil Rapat Kerja (Raker) Ikadin tahun 1990.
Sementara,
kubu Djemat mendesak agar pemilihan dilangsung dengan sistem one man one vote.
Setiap advokat yang hadir, berhak memilih ketua umum. Alas haknya juga ada.
Mengacu pada Anggaran Dasar Ikadin. Alhasil, dua-duanya ngotot. Tak ada yang
mau mengalah karena masing-masing punya pijakan hukum yang kuat.
Dari sisi
suara, bila pemilihan dilakukan oleh sistem DPC, maka kubu Harjono dipastikan
menang. Pasalnya, dirinya banyak ditopang advokat dari daerah. Tapi rata-rata
yang datang hanya pengurusnya saja. Sementara, peserta terbanyak datang dari
advokat asal Jakarta. Bila dilakukan pemilihan satu orang satu suara,
dipastikan Djemat yang menang. Inilah yang membuat baku hantam tak terelakkan.
Namun,
pimpinan sidang tetap ngotot memakai mekanisme yang dipilih kubu Harjono.
Alhasil kelompok Djemat walk out. Mereka meninggalkan arena Munas. Tapi bukan
beranjak pulang. Melainkan berkumpul lagi di Gedung Serbaguna Putri Duyung
Cottage, Ancol, Jakarta. Letaknya hanya 500 meter dari Hotel Horison. Disana,
ternyata mereka mengikrarkan diri untuk membentuk organisasi advokat baru
saingan Ikadin. Namanya ditetapkan yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Mereka beramai-ramai menandatangani ikrar diatas sebuah spanduk putih. Sehabis
deklarasi, serempak mereka menyanyikan lagu “Kemesraan”. Lagu inilah yang
kemudian dijadikan hymne wajib di AAI. Gani Djemat didepak sebagai ketua umum
pertamanya. Sejak itu, organisasi advokat terbelah lagi. Ikadin yang seyogyanya
dijadikan wadah tunggal buat advokat, terpecah lagi.
Ternyata,
sebelumnya juga tumbuh lagi organisasi advokat lainnya. Sebelum AAI lahir,
Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) dan Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi advokat juga Munculnya dua
organisasi advokat ini juga punya cerita sendiri. Karena dari segi istilah,
sebenarnya mereka berbeda dengan advokat.
Bukan itu saja. IPHI kemudian malah terpecah lagi. Sebagian advokat yang sebelumnya tergabung di organisasi itu, mendirikan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Pembentukan ini dipelopori oleh Elza Syarif. Malah beberapa konsultan hukum juga mendeklarasikan organisasinya. Mereka bergabung dalam Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Ironisnya, AKHI yang baru berdiri, terpecah juga. Ada sebagian yang kemudian mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Di sisi lain, ada juga yang tergolong dalam Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jadi, lengkaplah perpecahan di dunia advokat kita.
Lalu
muncullah UU No 18 tahun 2003 tentang advokat. Beleid ini mengamanatkan agar
advokat membentuk wadah tunggal. Artinya hanya ada satu organisasi advokat.
Para pimpinan organisasi advokat yang ada, kemudian berkumpul. Mereka
mendeklarasikan diri membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Lembaga
inilah yang kemudian mengklaim sebagai wadah tunggal itu. Otto Hasibuan sebagai
ketua umumnya. Tapi, kini organisasi itu terpecah lagi. Sejumlah advokat tak
setuju dengan cara pembentukannya. Bulan Mei 2008 ini mereka membuat Kongres
Advokat Indonesia. Ajang itu dibuat untuk melahirkan wadah tunggal sebenarnya.
Namun kubu Otto tak setuju cara itu. Menurutnya, kongres itu bukan hajatan yang
dibuat Peradi. “Munas advokat yang Peradi buat, tahun 2010,” tegasnya. Berarti,
bisa dipastikan bahwa organisasi advokat pecah lagi. Ironis sekali.
Sumber:
Irawan Santoso, http://irawan-santoso.blogspot.com/