Catatan-catatan Hukum
Belajar, Diskusi, dan Berbagi tentang Hukum
Senin, 27 Oktober 2014
Senin, 21 Oktober 2013
PERKAWINAN CAMPURAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia
Dalam beberapa hal, aspek perkawiinan
campuran telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
untuk selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan. Menurut Ketentuan Pasal 57 UU
Perkawinan, pengertian Perkawinan Campuran adalah “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
Dari
pengertian tersebut, dapat muncul satu pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah
perkawinan lintas agama, baik yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda
kewarganegaraan atau tidak, dapat dikualifikasikan sebagai perkawinan campuran
menurut UU No. 1 Tahun 1974?” Berdasarkan Ketentuan Pasal 57 tadi,
dapat diketahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran yang dimaksud menurut UU
Perkawinan adalah perkawinan yang berbeda kewarga-negaraan saja, sedangkan
perkawinan lintas agama tidaklah diatur sehingga dengan demikian perkawinan lintas
agama tidak terkandung di dalam muatan materi yang terdapat di dalam UU
Perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan lintas agama bukan menjadi yurisdiksi
dari hukum nasional tentang perkawinan sebagaimana dimaksud di dalam Ketentuan
Pasal 57 UU Perkawinan, khususnya yang menyangkut tentang perkawinan campuran.
Namun
demikian, jika ditilik secara lebih seksama lagi, UU Perkawinan tidak menutup
sama sekali pengaturan yang terkait dengan masalah perkawinan lintas. Hal ini
dapat dilihat dari Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebut
sebagai berikut:
“Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku”.
Dari
Ketentuan Penutup UU Perkawinan tadi, penting kiranya memperhatikan hal-hal
yang diatur di dalam peraturan lainnya, termasuk pula peraturan hukum kolonial
mengingat di dalam UU Perkawinan, masalah perkawinan lintas agama tidaklah
diatur.
Di
dalam peraturan lainnya, perkawinan beda agama ternyata diatur di dalam Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan
Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran. Namun
demikian, pengaturan yang terdapat di dalam peraturan kolonial tersebut hanya
sedikit sekali menyinggung tentang perkawinan lintas agama.
Salah
satu bagian dari Ketentuan Pasal 7 Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) yang
mengatur tentang perkawinan lintas agama hanya menyebutkan sebagai berikut:
“Perbedaan agama,
bangsa atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan”
Selanjutnya
pengaturan lain mengenai prosedur dan tata cara perkawinan lintas agama
tersebut tidaklah diatur lebih lanjut sehingga kiranya dapat diketahui bahwa
perkawinan lintas agama menurut Staatsblad1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan
Campuran adalah tidak dilarang namun tidak pula diberikan pengaturan lebih
lanjut yang berguna sebagai pedoman, terutama menyangkut prosedur dan tata cara
bagi pihak-pihak yang melaksanakannya.
B. Prosedur Tata Cara Perkawinan Campuran di Indonesia
Terkait
prosedur dan tata cara perkawinan campuran di Indonesia, terdapat beberapa model
asumsi sebagai berikut:
1. Jika
perkawinan campuran lintas agama dilangsungkan di Indonesia
Sebelum kita
mengetahui bagaimana prosedur dan tata cara perkawinan campuran lintas agama di
Indonesia, terlebih dahulu kita harus mengetahui bahwa sesungguhnya perkawinan
campuran lintas agama belumlah diatur menurut hukum nasional atau hukum
perkawinan di Indonesia. Dengan demikian secara umum pada prinsipnya perkawinan
campuran lintas agama mengandung konsekuensi yuridis dimana perkawinan campuran
tersebut tidaklah mendapatkan pengakuan menurut hukum nasional Indonesia. Oleh
karena itu, perkawinan campuran lintas agama secara otomatis tidak pula
mendapatkan perlindungan hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yang
menjalaninya.
2. Jika perkawinan campuran beda agama dilangsungkan
di luar negeri atau di luar Indonesia
Sepanjang
hukum di negara asing tadi dapat mengakui perkawinan campuran lintas agama,
maka perkawinan tersebut adalah sah apabila disertai dengan dokumen berupa
akta nikah dari negara asing tempat dilangsungkannya, yang mana
kemudiian dokumen akta nikah itu tadi dicatatkan di Kantor Perwakilan (Konsuler) RI
di negara tempat dilangsungkannya perkawinan untuk kemudian melaporkannya
lagi ke Instansi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia tempat dimana
pasangan tersebut tinggal. Pengaturan yang berkaitan dengan hal
tersebut dapat ditemui di dalam Ketentuan Pasal 70 Peraturan Presiden No. 25
Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil yang menyebutkan sebagai berikut:
(1) Pencatatan perkawinan bagi Warga Negara
Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara setempat.
(2) Perkawinan Warga Negara Indonesia yang telah
dicatatkan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1), dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat berupa fotokopi:
a. bukti pencatatan perkawinan/akta
perkawinan dari negara setempat;
b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau
c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.
(3) Pelaporan
perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan tata
cara :
a. Warga
Negara Indonesia
mengisi Formulir Pelaporan Perkawinan dengan menyerahkan persyaratan kepada Pejabat
Konsuler.
b. Pejabat
Konsuler mencatat pelaporan perkawinan Warga Negara Indonesia
dalam Daftar
Perkawinan Warga Negara Indonesia
dan memberikan surat
bukti pencatatan perkawinan
dari negara setempat.
Selanjutnya Ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan
menyebutkan bahwa:
“Dalam
waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat
tinggal mereka”.
Apabila
pasangan tersebut terlambat mencatatkannya, maka dikenakan sanksi berupa denda
administratif yang besarannya diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda)
sebagaimana diatur menurut Ketentuan Pasal 105 ayat (1) dan (2) Peraturan
Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Jadi, secara singkat prosedur tata cara
perkawinan beda agama di luar negeri yaitu mencatatkannya di Kantor Perwakilan
(Konsuler) RI di negara tempat perkawinan dilangsungkan, kemudian
mendaftarkannya paling lambat 1 (satu) tahun setelah pasangan tersebut kembali
ke wilayah Indonesia.
Ad. 3. Jika perkawinan campuran lintas
agama dilangsungkan di Indonesia, namun mencatatkannya sebagai pasangan yang
menikah berdasarkan salah satu hukum agama saja.
Alternatif terakhir ini sepertinya sering
dianggap sebagai solusi bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan lintas
agama. Sebagian besar dari mereka yang menilai model perkawinan lintas agama ini
sebagai solusi, memandang bahwa agama pada hakekatnya lebih menekankan pada
hubungan spiritual yang bersifat vertikal, bukan horizontal. Sehingga dengan
demikian, masalah hukum administrasi negara dipandang bukan merupakan sesuatu
yang sakral sehingga pemenuhannya sendiri hanyal bersifat formalistis demi
mendapatkan perlindungan terhadap akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban bagi
pasangan yang menjalani perkawinannya.
Dalam hal ini penulis memandang bahwa cara
ini merupakan suatu penyelundupan hukum yang memang belum pula diatur apakah
cara seperti ini merupakan cara-cara yang ilegal karena belum ada sanksi yang
dapat dikenakan bagi mereka yang melaksanakan perkawinan lintas agama dengan
model seperti ini sehingganya dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama
model ini masih dimungkinkan meskipun penulis kurang begitu menyetujuinya.
Adapun prosedur dan tata cara perkawinan
campuran lintas agama seperti ini adalah sama dengan tata cara perkawinan yang
lazim menurut salah satu agama yang telah ditentukan oleh pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinannya. Sedangkan status hukum yang nantinya terkait
dengan penyelesaian hukum seperti waris, harta gono gini, perceraian, hak asuh
anak, dan sebagainya adalah bergantung pada pilihan perkawinan menurut hukum
agama apa yang mereka pilih. Contohnya jika dulu perkawinan tercatat menurut
Islam maka status hukum yang nantinya terkait dengan penyelesaian hukumnya adalah
diatur menurut hukum Islam. Jika dulu perkawinan tercatat menurut Kristen maka
status hukum yang nantinya terkait dengan penyelesaian hukumnya adalah diatur
menurut hukum perdata eropa/ barat.
C. Beberapa Permasalahan Hukum Seputar Perkawinan Campuran Lintas Agama
Bagi para pelaku perkawinan campuran lintas agama,
beberapa permasalahan yang dapat timbul antara lain sebagai berikut:
1.
Masalah Keabsahan Perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal
ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama
masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh
masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan lintas
agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki
yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran
Kristen perkawinan lintas agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
2. Masalah
Pencatatan perkawinan
Apabila perkawinan lintas agama tersebut
dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan
mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor
Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan
di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan lintas
agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan
terlebih dahulu apakah perkawinan lintas agama yang dilangsungkan tersebut
memenuhi Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan tentang syarat sahnya suatu
perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut UU Perkawinan maka ia dapat menolak
untuk melakukan pencatatan perkawinan (Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU
Perkawinan).
3. Status
Kewarganegaraan
Menurut Ketentuan Pasal 58 UU Perkawinan,
bagi orang-orang yang berlainan kewarga-negaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Hal itu dapat dilihat dari Ketentuan Pasal
26 ayat (1) s.d ayat (4) UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, yang selanjutnya disingkat dengan UU Kewarganegaraan sebagai
berikut:
(1) Perempuan
Warga Negara Indonesia yang
kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan
istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki
Warga Negara Indonesia yang
kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya
kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki
tersebut, kecuali pengajuan tersebut
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya
berlangsung.
Jadi, jika kita melihat Ketentuan Pasal 26
ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara
asal si suami memberikan kewarga-negaraan kepada pasangannya akibat perkawinan
campuran, maka istri yang WNI dapat kehilangan kewarga-negaraan Indonesia,
kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi WNI.
Selanjutnya perihal status kewarganegaraan
anak, sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, UU No. 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan (yang lama)telah
menggariskan bahwa asas kewarganegaraan Indonesia adalah Asas Ius Sanguinus Patriarkhal
dan Asas
Tunggal. Namun setelah berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, yakni
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, terdapat suatu kemajuan dalam rangka
perlindungan terhadap hak anak terkait status kewarganegaraan karena di UU
Kewarganegaraan yang baru memperbolehkan seorang anak untuk memiliki
kewarganegaraan ganda sesuai Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
(vide Ketentuan Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 jo. Pasal 6 ayat (1) s.d
ayat (3) UU Kewarganegaraan.
4. Masalah
Kepemilikan Properti
Menurut hukum, perempuan WNI yang terikat
perkawinan sah dengan laki-laki WNA, memperoleh hak-hak atas tanah berupa Hak
Milik, Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha, baik karena pewarisan, peralihan hak
melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. Hal
tersebut berdasarkan Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya
disingkat dengan UUPA yaitu:
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya
wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya
hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung”.
Pengaturan tersebut berlaku ketika status
kewarga-negaraan dalam perkawinan campuran masih diatur menurut Ketentuan UU
Kewarganegaraan yang lama. Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru,
terjadi sedikit perubahan ketentuan menyangkut harta bawaaan dimana dalam UU
Kewarganegaraan yang lama mengharuskan pihak
istri yang berstatus WNI dalam perkawinan campuran untuk melepaskan hak milik
yang telah dimiliki sebelum perkawinan campuran dilangsungkan sebagai aikbat dari konsekuensi yuridis berupa
kehilangan kewarganegaraan. Namun demikian setelah berlakunya UU Kewarganegaraan
yang baru, Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), maupun Hak Strata Title atas
harta bawaan istri yang berstatus WNI tetaplah diakui sebagai harta yang berada
di bwah penguasaan masing-masing. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan
ketentuan yang menyangkut status kewarganegaraan antara UU Kewarga-negaraan
yang lama dengan UU Kewarganegaraan yang baru.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU Kewarga-negaraan
menjelaskan bahwa pria atau wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah
dengan pria atau wanita Warga Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarga-negaraan
Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suami atau isterinya,
mengikuti kewarga-negaraan suami atau isteri sebagai akibat perkawinan
tersebut. Jika pria atau wanita yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut
ingin tetap menjadi berkewarga-negaraan Indonesia dapat mengajukan surat
pernyataan ke pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal pria atau wanita tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan
kewarga-negaraan ganda (Ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Kewarganegaraan). Surat pernyataan tersebut
dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran
dilangsungkan (Ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan).
Dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI
pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha
ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU
Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus
WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena
itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik,
atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.
Mengenai
Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA, Retno
S. Darussalam, S.H. dalam artikel berjudul Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA)
menjelaskan:
Ketentuan
tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang
dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara
notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor
Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Pasal 29 UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam hal akta perjanjian kawin
tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara
hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan
percampuran harta.
5. Masalah Apabila Terjadi Perceraian dalam Perkawinan Campuran Lintas Agama
5.1. Masalah
Kompetensi Pengadilan Yang Memeriksa dan Memutus Perkara Perceraian Perkawinan Campuran Lintas Agama
Masalah kompetensi
pengadilan bilamana pelaku hendak bercerai juga merupakan masalah penting mengingat
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa,”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dengan demikian penting kiranya
untuk mengetahui dapat tidaknya perceraian diajukan ke muka pengadilan atau
dengan kata lain mengetahui apakah perkara cerai yang diajukan oleh pelaku
perkawinan campuran tadi menjadi yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan atau
tidak. Hal ini berguna agar permohonan atau gugatan cerai yang diajukan tidak
dinyatakan Niet Onkelijk Verklard (NO) atau tidak dapat diterima. Oleh
karena itu, kompetensi pengadilan ini menjadi terkait dengan masalah pencatatan
perkawinan sebagaimana telah diijelaskan sebelumnya.
5.2.
Masalah Harta Bersama maupun Gono-Gini
Para pihak pelaku
perkawinan campuran yang memperoleh properti di Indonesia, berupa Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, “Strata Title”, karena pewarisan, peralihan hak melalui
proses jual beli, atau percampuran harta karena perkawinan, WAJIB untuk
melepaskan hak-hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak-hak tersebut. Jika sesudah jangka waktu tersebut lewat dan
hak-hak tersebut tidak dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung. Hal ini diatur dalam Ketentuan Pasal 21 ayat
(3) UUPA. Tapi, WNI pelaku perkawinan campuran dibolehkan memiliki Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Strata Title dengan catatan bahwa para pihak dalam
perkawinan campuran tersebut membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta
sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik
masing-masing.
5.3
Masalah Hak Asuh Anak
Semenjak lahirnya UU
Kewarganegaraan di tahun 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006, otomatis
mendapatkan kewarga-negaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa tenggang hingga
tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang
akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan
kewarga-negaraan anak dengan berdasarkan pada Ketentuan Pasal 29 ayat (1) s.d
ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang selanjutnya
disingkat dengan UU Perlindungan Anak yang pada prinsipnya menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak
anak yang merupakan hak asasi manusia.
Adapun Ketentuan Pasal 29
UU Perlindungan Anak menyebutkan sebagai berikut:
(1) Jika
terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan
dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak
berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama pengasuhan salah satu dari kedua
orangtuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana
dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik
anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
Apabila ternyata terjadi perceraian dalam
perkawinan campuran, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua.
Demi hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu
dan mendapat kewarganegaraan Indonesia.
Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU Kewarganegaraan, maka anak tersebut
harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat
kewarganegaraan Indonesia.
Ada baiknya
pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat
kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian
anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak. Sehingga ke
depannya tidak memunculkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.
5.4
Masalah Waris
Seorang WNI yang menikah
secara sah dengan WNA, dimana WNI tersebut memperoleh asset berupa tanah dengan
status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun di atas tanah HGB, baik karena pewarisan, peralihan hak
melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut (Ketentuan
Pasal 21 ayat (3) UUPA). Pelepasan hak tersebut adalah dengan cara menjual atau
menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut.
Jika jangka waktu tersebut
lewat/dilepaskan, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanah-tanah
tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebani tetap berlangsung (Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA). Ketentuan
tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat
sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat secara
notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor
Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan).
Apabila akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat
perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut
dianggap sebagai perkawinan percampuran harta. Artikel pada hukum online juga
menyebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan menggariskan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kecuali, kedua belah pihak
membuat perjanjian perkawinan untuk menghindari percampuran harta secara hukum.
Sumber:
-
UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-
UU
No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (Lama)
-
UU
No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
-
UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
-
UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-
Peraturan
Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
-
Staatsblad
1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896
No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran
Selasa, 24 September 2013
Kreditor yang didahulukan dalam Kepailitan menurut KUHPerdata (Pasal 1139)
Kedudukan Penjual Barang Benda Bergerak yang Belum Dibayar Lunas oleh Debitur Dalam Tata Urutan Kreditur dalam Proses Kepailitan
A.
Kasus posisi
Dalam proses kepailitan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) dikenal tiga
tingkatan kreditur yaitu kreditur separatis (pemegang hak jaminan), kreditur
preferen (kreditur yang diistimewakan, baik karena sifat piutang ataupun karena
undang-undang), dan kreditur konkuren. Kemudian timbul permasalahan bagaimana
kedudukan penjual barang bergerak yang menjual barangnya kepada debitur, ketika
debitur dinyatakan pailit, pembayaran terhadap barang tersebut belum lunas,
contohnya adalah supplier-supplier bahan baku, peralatan, dll, apakah
dikategorikan kreditur konkuren atau kreditur preferen?
B. Dokumen
Hukum
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
2.
Undang-undang
No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
C.
Kajian Hukum
Kreditor yang
diistimewakan (preferen) yang dimaksud dalam undang-undang Kepailitan dan PKPU
adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1139 dan 1149 BW (penjelasan pasal
60 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Dalam
pasal 1139 BW disebutkan:
Piutang-piutang yang didahulukan atas
barang-barang tertentu, ialah:
1.
biaya
perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak
bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau
penguasaan. Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang tersebut, lebih
dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan, bahkan lebih
dahulu daripada gadai hipotek;
2.
uang
sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewaserta segala
sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa penyewa itu ;
3. harga
pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
4.
biaya
untuk menyelamatkan suatu barang;
5.
biaya
pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar kepada pekerjanya;
6.
apa
yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah
penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan;
7.
upah
pengangkutan dan biaya tambahan lain;
8.
apa
yang masih harus dibayar kepada seorang tukang batu, tukang kayu dan tukang
lain karena pembangunan, penambahan dan perbaikan barangbarang tak bergerak,
asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun, dan hak milik atas persil
yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur;
9.
penggantian
dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena
kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugasnya.
Dalam pasal 1139 ayat 3 BW jelas
disebutkan bahwa pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar adalah
termasuk piutang yang diistimewakan artinya termasuk golongan kreditur
separatis. Namun ketentuan dalam pasal tersebut tidak berdiri sendiri, namun
diatur lebih lanjut dalam pasal 1144 BW, sebagai berikut:
“Penjual barang
bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat melaksanakan hak didahulukan atas
uang pembelian barang itu, bila barang-barang itu masih berada di tangan
debitur, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual barang-barang itu dengan
tunai atau tanpa penentuan waktu.”
Selanjutnya diatur juga dalam pasal
1145, sebagai berikut:
”Bila penjualan barang
itu dilakukan dengan tunai, maka penjual mempunyai wewenang untuk menuntut
kembali barang-barangnya, selama barang-barang itu masih berada ditangan
pembeli, dan menghalangi dijualnya barang itu lebih lanjut, asalkan penuntutan
kembalinya barang itu dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah
penyerahannya.”
Selanjutnya dalam pasal 1146a
disebutkan:
“Hak penjual hapus,
bila barang-barang itu, setelah berada dalam penguasaan pembeli semula atau
kekuasaanya, dibeli dengan itikad baik oleh pihak ketiga dan telah diserahkan
kepadanya. Akan tetapi bila uang pembelian itu belum dibayar oleh pihak ketiga
itu, penjual semula dapat menuntut uang itu sampai memenuhi jumlah tagihannya,
asalkan tagihan itu dilakukan dalam waktu enam puluh hari setelah penyerahan
semula”
Dengan demikian dari ketentuan-ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan penjual benda bergerak yang belum
mendapat pelunasan oleh debitur tidak serta merta menjadi kreditur yang
diistimewakan (separatis), namun menimbang beberapa hal, yaitu:
1.
Apakah
barang-barang tersebut masih berada di tangan debitur?
2.
Apakah
penyerahan barang tersebut sudah lewat 30 hari?
3.
Apakah
barang tersebut sudah dijual kepada pihak ketiga?
4.
Apakah
barang tersebut sudah dibeli pihak ketiga namun belum dilakukan pembayaran dan
telah lewat 60 hari sejak penyerahan semula?
Dari
pertimbangan-pertimbangan di atas dapat ditarik kesimpulan:
1.
Hak
istimewa yang diberikan bagi penjual adalah hak istimewa untuk memperoleh
pelunasan atau pembayaran terlebih dahulu atas penjualan benda bergerak yang
telah dibeli debitor
2.
Hak
istimewa timbul dengan syarat:
a.
Barang-barang
tersebut masih berada di tangan debitur
b.
Penjual
bahkan dapat menuntut kembali barang yang dijualnya asal tidak lebih dari 30
hari sejak penyerahannya
c.
Barang-barang
tersebut belum dijual lagi kepada pihak ketiga yang beritikad baik.
d.
Barang
tersebut sudah dibeli pihak ketiga, namun belum dibayar oleh pihak ketiga
tersebut, dan tagihan tersebut diajukan kepada pembeli asal (debitur) sebelum
waktu 60 hari sejak penyerahan semula.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Supllier-supplier
bahan baku dapat dikategorikan kreditur preferen sepanjang:
a.
bahan
baku yang menjadi dasar tagihan tersebut masih belum digunakan (masih berada di
tangan debitur)
b.
bahan
baku yang menjadi dasar tagihan tidak dijual kepada pihak ketiga
2.
Supplier-supplier
peralatan/perkakas dapat dikategorikan kreditur preferen sepanjang peralatan
yang dijual kepada debitur yang menjadi dasar tagihan masih berada di tangan
debitur atau belum dijual kepada pihak ketiga.
Langganan:
Postingan (Atom)