Tanggung Jawab Pengurus CV Jika Dinyatakan Pailit Oleh Putusan Pengadilan Niaga
Postingan ini adalah sambungan dari postingan sebelumnya Tanggung Jawab Pengurus CV dalam Kepailitan (1). Jika pada postingan sebelumnya kita sudah membahas tentang Pengurus CV dan CV dalam keadaan pailit, maka kali ini kita bahas bagaimana tanggung jawab pengurus CV jika dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Tanggung
jawab pengurus CV erat kaitannya dengan hubungan hukum yang terjadi pada CV
itu, baik secara intern maupun secara ekstern. Hubungan hukum secara intern
yang terjadi pada CV adalah hubungan hukum mengenai perikatan-perikatan yang
ada di antara sekutu komplementer dan sekutu komanditrer. Dasar dari hubungan
ini adalah tentang hal-hal yang telah disepakati antara masing-masing sekutu
yang dimuat dalam Anggaran Dasar CV sehingga nantinya akte pendirian tersebut
dapat dijadikan sebagai aturan intern yang mengikat para sekutu.
Ketentuan
hukum yang terbatas mengenai CV mengakibatkan hubungan intern tidak cukup
apabila dijelaskan dengan menggunakan landasan hukum dari KUHD saja akan tetapi
juga dapat dicari ketentuan dalam KUHPerdata.
Mengingat
kembali bahwa CV pada hakekatnya adalah bentuk khusus dari firma, dan firma
merupakan bagian dari bentuk persekutuan perdata / maatschap, maka
secara tidak langsung beberapa hal yang mengatur CV banyak mengacu pada ketentuan
hukum mengenai maatschap, yaitu yang diatur dalam Bagian Kedua Bab VIII
Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1624 sampai dengan Pasal 1641.
Pasal-pasal
tersebut secara garis besar mengatur hubungan intern CV meliputi :
a. Pemasukan modal
Diatur dalam Pasal 1625 KUHPerdata.
Benda pemasukan dapat berupa benda fisik, uang dan tenaga manusia (fisik
dan/atau pikiran);
b. Pembagian untung rugi
Diatur dalam Pasal 1633 dan 1634
KUHPerdata. Biasanya mengenai kedua hal ini diatur dalam perjanjian pendirian
persekutuan. Kalau dalam perjanjian pendirian persekutuan tidak diatur barulah
aturan tersebut di atas berlaku.
Pasal
yang paling awal mengatur hubungan intern dimulai dari Pasal 1624 KUHPerdata
bahwa pendirian persekutuan cukup dengan tercapainya kehendak secara lisan.
Syarat tertulis yaitu akta notariil sebenarnya tidaklah diminta oleh
undang-undang, cukup dilakukan dengan konsensus.
Ketentuan
ini secara tidak langsung juga berlaku bagi pendirian CV, yaitu pendirian CV
dapat dilakukan dengan cara konsensus/lisan. Namun para pengusaha dewasa ini
telah banyak meninggalkan sistem kerjasama yang tidak tertulis/lisan, yang
didasarkan pada konsensus semata-mata, mereka telah banyak menggunakan sistem
kontraktual, karena dirasakan lebih aman serta lebih dapat memberikan kepastian
hukum bagi kedua belah pihak di samping kepentingan pihak ketiga. Kendatipun
unsur kepercayaan dan itikad baik itu masih melekat pada setiap hubungan
bisnis, namun hukum kebiasaan dunia usaha sudah banyak meningalkan cara-cara
non kontraktual di dalam mengawali setiap kerjasama usaha.
CV
yang telah didirikan oleh para sekutu pendiri, selanjutnya tentulah ada
kesanggupan dari sekutu komanditer memberikan pemasukan (inbreng) modal
kepada persekutuan sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya. Pasal 1625
KUHPerdata mengatur mengenai pemasukan, baik berupa pemasukan uang,
benda/barang dalam arti fisik maupun hanya berupa kemanfaatannya saja (het
genot) ataupun pemasukan yang berwujud tenaga kerja atau pikiran. Pasal ini
tidak hanya mengatur mengenai keharusan untuk memasukkan modal, akan tetapi
juga kewajiban untuk menanggung serta menjaga terhadap adanya cacat barang yang
dimasukkan, baik cacat yang ada pada barang itu maupun cacat dari gangguan
pihak ketiga. Apabila seorang sekutu tidak dapat tepat waktu memasukkan modal
dari yang diperjanjikan, maka Pasal 1626 ayat (1) membebankan bunga pada sekutu
tersebut. Sekutu yang meminjam uang dari kas persekutuan, dia harus membayar
bunga terhitung mulai saat ia meminjam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1628
ayat (2) KUHPerdata.
Asas
terpenting yang harus dijunjung tinggi pada setiap bentuk perkumpulan adalah
asas kepentingan bersama yang tersimpul dalam Pasal 1628-1630 KUHPerdata. Asas
kepentingan bersama bermakna bahwa tiap-tiap nggota persekutuan tidak
diperbolehkan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan anggota
persekutuan, oleh karena asas ini berkaitan dengan adanya keuntungan yang
nantinya akan dinikmati oleh semua anggota dan juga terhadap terjadinya
kerugian/hutang-hutang yang akan menjadi beban tanggungan semua anggota. Tapi
memang sudah selayaknya semua anggota mengutamakan kepentingan bersama
sekalipun tanpa adanya ketentuan pasal-pasal tersebut.
Salah
satu kepentingan bersama yang ingin dicapai persekutuan adalah mendapatkan
keuntungan/laba perusahaan yang sebesar-besarnya. Keuntungan ini juga harus
dibagi di antara para sekutu. Ketentuan KUHPerdata yang mengatur soal pembagian
keuntungan dan kerugian tercantum dalam Pasal 1633-1635 KUHPerdata.
Menurut
Pasal 1633 KUHPerdata, cara membagi keuntungan dan kerugian itu sebaiknya
diatur dalam pendirian perusahaan. Pada badan usaha berbentuk CV sebaiknya
diatur dalam akta pendirian CV atau Anggaran Dasar CV. Namun bila tidak ada
perjanjian mengenai cara membagi keuntungan dan kerugian, maka menurut Pasal
1633 ayat (1) KUHPerdata pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan menetapkan
asas keseimbangan pemasukan, dengan pengertian bahwa pemasukan berupa tenaga
kerja akan disamakan dengan pemasukan uang atau benda terkecil (Pasal 1633 ayat
(2) KUHPerdata).
Apabila
CV mengalami kerugian maka para sekutu komanditer juga akan menanggung beban
kerugian itu tetapi tidak perlu membayar kerugian sampai melebihi batas
pemasukannya, lain sekali dengan tanggung jawab sekutu komplementer, beban itu
sampai menjangkau harta kekayaan pribadinya dapat digunakan sebagai jaminan
pelunasan hutang-hutang persekutuan (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata).
Kedudukan
sekutu komanditer mengenai keuntungan dan kerugian perusahaan, tidak diperbolehkan
dituntut agar menambah pemasukannya serta tidak berhak meminta kembali
keuntungan yang telah diterimanya (Pasal 1625 KUHPerdata) . Sedangkan kedudukan
sekutu komplementer dapat dipersamakan dengan kedudukan para firmant dalam
persekutuan firma, yaitu mempunyai beban tanggung jawab saling tanggung
menanggung secara penuh di antara para sekutu firma.
Para
sekutu baik sekutu komanditer maupun sekutu komplementer perlu memusyawarahkan
kembali di dalam rapat anggota/pengurus agar sekutu yang hanya memasukkan
tenaga kerja dan pikiran mendapat penilaian yang adil. Namun yang jelas, secara
keseluruhan tidaklah diperbolehkan untuk menetapkan pembagian keuntungan dan
kerugian pada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat (1) KUHPerdata). Sebaliknya,
diperbolehkan untuk membebankan kerugian pada salah satu sekutu saja (Pasal
1635 ayat (1) KUHPerdata), tetapi dilarang memberikan keuntungan hanya pada
salah seoarang sekutu saja (Pasal 1635 ayat (2) KHUPerdata), karena hal
tersebut bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan suatu persekutuan yaitu
mengutamakan kepentingan bersama. Dilarang juga melakukan penetapan kerugian
maupun keuntungan pada pihak ketiga (Pasal 1634 KUHPerdata).
Dalam
konteks hubungan hukum para sekutu ini erat kaitannya dengan kewajiban dan
tanggung jawabndi antara para sekutu. Berdasarkan hubungan hukum yang dapat
dilakukan oleh sekutu komanditer, yaitu tidak diperkenankan untuk melakukan
hubungan hukum dengan pihak ketiga maka tanggung jawab sekutu komanditer juga
merupakan tanggung jawab ke dalam (intern) yaitu terhadap sekutu komplementer
yaitu hanya menyerahkan pemasukan yang telah diperjanjikan (Pasal 19 KUHD).
Sekutu komanditer baru bertanggungjawab keluar perusahaan, apabila ia melanggar
Pasal 20 KUHD.
Di
dalam institusi yang berbentuk CV, di antara kedua macam sekutu hanya sekutu
komplementer/pengurus saja yang dapat mengadakan hubungan hukum ekstern dengan
pihak luar, sedangkan sekutu komanditer tidak mempunyai kewenangan mengadakan
hubungan hukum dengan pihak ketiga. Perbedaan kewenangan melakukan hubungan
hukum dari kedua sekutu tersebut erat hubungannya dengan kewenangan mewakili
dan tanggung jawab yang ada pada kedua sekutu.
Pasal
20 ayat (1) KUHD menentukan bahwa sekutu komanditer tidak boleh menggunakan
namanya sebagai nama firma, selanjutnya dalam ayat (2) ditegaskan bahwa sekutu
komanditer tidak boleh melaksanakan tugas pengurusan (beheern), walaupun
dengan menggunakan surat kuasa. Apabila sekutu komanditer melanggar ketentuan
ini, maka menurut Pasal 21 KUHD, sekutu komanditer tersebut mempunyai tanggung
jawab secara penuh sebagaimana tanggung jawab sekutu komplementer.
Rasio
adanya ketentuan tersebut adalah digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya
kesalahpahaman dari sekutu komanditer bilamana sekutu komanditer diperkenankan
melakukan tugas kepengurusan, sementara itu tanggung jawab yang ada pada sekutu
komanditer adalah tanggung jawab yang terbatas sifatnya, dengan begitu pihak
ketiga dapat dirugikan karena perbuatan sekutu komanditer tersebut. Apabila
sekutu komanditer tetap menjalankan tugas kepengurusan maka tanggung jawabnya
tidak dapat dibatasi secara intern terbatas pada pemasukannya saja , akan
tetapi meliputi semua kekayaan yang dimiliki bahkan sampai menjangkau pada
harta kekayan pribadinya .
Atas
dasar prinsip Pasal 19 KUHD, maka pihak ketiga tidak diperbolehkan menagih
hutang persekutuan langsung pada sekutu komanditer karena sekutu
komplementerlah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pihak ketiga.
Cukup relevan apabila pihak ketiga tidak diperkenankan menagih secara langsung
kepada sekutu komanditer, mengingat sekutu komanditer tidak dikenal pihak luar
(pihak ketiga) dan tidak berwenang melakukan hubungan hukum keluar perusahaan
sehingga tanggung jawabnya juga tidak sampai kepada pihak ketiga (ekstern),
akan tetapi tanggung jawab terhadap intern persekutuan.
Sebagaimana
diketahui, dalam persekutuan komanditer atau CV bahwa tanggung jawab sekutu
komplementer yang juga pemilik persekutuan adalah mutlak, artinya tidak hanya
sebesar pemasukan (inbreng) modal saja tapi sampai kepada kekayaan pribadi.
Apabila sekutu komplementer itu lebih dari satu, maka tanggung jawab menjadi
mutlak dan tanggung renteng. Mutlak artinya sekutu komplementer wajib
mempertanggung jawabkan persekutuannya hingga ke harta pribadinya, sementara
tanggung renteng artinya tanggung jawab itu melibatkan sekutu komplementer yang
lain, yang mungkin tidak tahu menahu hal-hal yang telah dilakukan oleh sekutu
komplementer yang lainnya. Oleh sebab itu setiap pihak yang dirugikan, termasuk
persekutuan itu sendiri, dan kreditor dapat mengajukan gugatan terhadap
pengurus atau pemilik persekutuan, atas kesalahan dan atau kelalaiannya, untuk
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita.
Dalam
hal harta kekayaan persekutuan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
terhadap pihak ketiga, dengan mengingat asas pertanggungjawaban dalam CV yang
bersifat mutlak, maka tidak menjadi keharusan pembuktian kepada diri penggugat
mengenai adanya kelalaian atau kesalahan tersebut.