Selamat Datang di Blog saya yang sederhana,Terima Kasih Atas Kunjungannya

Kamis, 13 Mei 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum revolusi industri pada abad ke-17, aktivitas manusia di bumi cenderung hampir tidak menghasilkan polusi yang berarti. Tetapi sejak revolusi industri dimulai di Eropa, polusi udara, suara, air, tanah meningkat akibat limbah dari industrialisasi. Dimana limbah industri mencemari hampir seluruh elemen ekosistem di bumi, baik air, tanah, maupun udara yang akhirnya mempengaruhi keberlanjutan peradaban manusia itu sendiri. Permasalahan pencemaran lingkungan akhirnya menjadi permasalahan yang sangat serius dan menjadi perhatian masyarakat dunia pada beberapa dekade terakhir abad ke-20.
Akhirnya para petinggi negara di dunia berinisiatif membuat suatu pertemuan tingkat internasional yang khusus membahas permasalahan lingkungan. Konferensi Tingkat Tinggi yang pertama membahas permasalahan lingkungan global adalah konferensi PBB untuk Pembangunan dan Lingkungan yang diselenggarakan di Stockholm tanggal 5-12 Juni 1972 dan dihadiri kurang lebih 110 negara yang menghasilkan Deklarasi Stockholm. Selanjutnya adalah KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, KTT Perubahan Iklim di Johanesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002, KTT Perubahan Iklim di Bali, pada tahun 2007, dan KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark pada tahun 2009. Jika melihat sejarah, jauh sebelum isu lingkungan mencuat di akhir abad 20, sebenarnya di awal abad masehi sudah ada peraturan yang mengatur tentang permasalahan lingkungan (paling tidak dikategorikan sebagai salah satu permasalahan lingkungan) dalam hal ini peraturan tentang perumahan yang ditulis dalam “Code of Hammurabi” yang menyatakan bahwa sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan cederanya orang lain. Demikian pula di zaman Romawi yaitu adanya peraturan tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan. )
Pembahasan isu lingkungan di tingkat global tidak terlepas atau bahkan sangat sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara. Seperti yang diungkapkan oleh Supriadi, S.H, M.Hum dalam bukunya Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar :
“Negara superindustri terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling berpengaruh pada semua kebijakan yang dirancang Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu contohnya adalah hasil Protokol Kyoto ini. Dalam artian, kalau semua kebijakan yang disepakati PBB menguntungkan Amerika Serikat, maka Amerika Serikat akan ikut meratifikasinya, akan tetapi kalau kesepakatan tersebut merugikan negaranya, negara Amerika akan menolaknya.” )

Ini menunjukkan bahwa pembahasan permasalahan lingkungan tingkat global tidak selalu memperjuangkan kepentingan lingkungan, tapi justru menjadi tarik-menarik kepentingan politik ekonomi masing-masing negara. Namun walaupun begitu setidaknya masih ada upaya-upaya untuk memperjuangkan kepentingan lingkungan yaitu melalui pertemuan-pertemuan tersebut, walaupun output yang dihasilkan belum dapat dikatakan maksimal. Sesungguhnya lingkungan merupakan isu yang sangat kuas karena kompleksitas permasalahannya menyangkut aspek-aspek krusial dan beraneka ragam dari multidisiplin ilmu ekonomi, politik, sosial dan budaya dan tentunya dari kelompok ilmu-ilmu eksata yang berkaitan langsung dengan studi physical environment itu sendiri, seperti: biology, chemistry, geology, forestry dan sebagainya.
Benang merah yang menghubungkan keragaman persoalan lingkungan ini adalah bahwa kesemuanya berkenaan dengan masalah tentang hubungan antara human society dan the natural world. Akan tetapi dalam beberapa hal ada perbedaan dalam hal “motivasi” di belakang isu-isu lingkungan tersebut. Misalnya isu tentang pemanasan global atau kelangkaan cadangan ikan di laut, lebih didorong oleh masalah keberlangsungan (sustainability) system ekonomi yang ada. kemudian masalah food safety, chemical pollution, urban traffic congestion dimotivasi oleh isu kesehatan dan amenity. Sementara masalah punahnya satwa-satwa liar dan keragaman hayati hutan-hutan tropis mencuatkan isu tentang etika dan budaya tentang nilai dari “the non-human world”. Lingkungan adalah satu-satunya isu yang memasuki arena politik dengan membawa ideologinya sendiri dan melahirkan gerakan social (social movement).
Pemerintah Indonesia sebagai negara yang merupakan bagian dari warga dunia pun berperan aktif dalam menyikapi permasalahan lingkungan global dan permasalahan konservasi global. Konvensi-konvensi yang membahas permasalahan lingkungan pun diratifikasi dan diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang pertama kali dibuat khusus mengatur tentang lingkungan adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian pada tahun 1997 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan terakhir diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup.
Perubahan peraturan perundang-undangan ini tidak lepas dari agenda-agenda konservasi global dan perkembangan hukum lingkungan tingkat global ataupun kesepakatan-kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau semacamnya dimana Indonesia ikut meratifikasinya, sehingga diperlukan penyesuaian-penyesuaian agar sejalan dengan peraturan konvensi yang kemudian implikasinya jika diperlukan peraturan perundang-undangan pun harus direvisi bahkan diganti. Walaupun pembentukan peraturan perundang-undangan itu tentu saja tidak hanya berpedoman dengan konvensi-konvensi tingkat global, tetapi juga disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia.
Undang-Undang yang mengatur tentang Lingkungan Hidup yang sekarang diberlakukan adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai pengganti Undang-Undang No. 23 tahun 1997 yang kemudian dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini disahkan tanggal 03 Oktober 2009 dan berlaku efektif sejak 01 April 2010. Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan
Pemberlakuan Undang-Undang ini menuai kontroversi, dari kalangan industri cenderung (walaupun tidak menolak) meminta kelonggaran waktu beberapa tahun ke depan untuk menyesuaikan diri terhadap pemberlakuan Undang-Undang ini, dengan alasan perlu waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan Undang-Undang ini diantaranya kewajiban seluruh industri memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Bahkan diberitakan dalam INDOPOS tanggal 03 Desember 2009 bahwa 2.000 pabrik di kota Tangerang akan terancam tutup akibat dampak penerapan UU No.32 Tahun 2009 karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang dituntut UU tersebut. )
Apalagi bagi industri Migas, yang diwajibkan menerapkan standar baku mutu lingkungan yang dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. Yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah meliputi baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat. Implikasi negatif terhadap produksi minyak dan gas sangat terpengaruhi pada produksi nasional. Undang-Undang ini juga telah memberikan masukan yang tegas, yaitu tentang AMDAL. AMDAL yaitu merupakan suatu analisa tentang dampak lingkungan. Ini dapat ditelusuri dalam Undang-Undang ini pembahasan tentang AMDAL, yaitu didalam Undang-Undang sebelumnya tidak dicantumkan dengan tegas persoalan AMDAL ini.
Bahkan begitu beratnya aturan-aturan dalam undang-undang ini, Pertamina yang merupakan perusahaan minyak dan gas nasional itu pun belum siap dengan pemberlakuan undang-undang tersebut. Seperti yang diberitakan dalam Harian Kompas tanggal 05 April 2010, Pertamina EP melalui Manager Humas-nya menyatakan belum siap mengikuti aturan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. )
Sementara jika kita melihat kerusakan lingkungan global yang terjadi saat ini, pemberlakuan Undang-Undang ini justru bisa dikatakan terlambat. Karena pembahasan isu kerusakan lingkungan global dan agenda-agenda konservasi global sudah sejak Deklarasi Stockholm tahun 1972, Konferensi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, Konferensi Perubahan Iklim di Johanesburg tahun 2002, Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Indonesia tahun 2007, dan terakhir KTT Perubahan Iklim di Copenhagen, Denmark, tahun 2009. Dari keseluruhan pertemuan itu belum menghasilkan langkah yang konkret untuk menyelamatkan lingkungan. Kita lihat Protokol Kyoto yang sampai sekarang masih kurang kuota untuk dilaksanakan (Amerika Serikat yang merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar disamping Cina, Jepang, dan Rusia, tidak menandatangani Protokol tersebut sampai sekarang), sementara bencana lingkungan semakin parah. Bahkan Amerika Serikat menilai Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak adil dan tidak efektif. ) Jadi jika kita melihat pertimbangan ini, pemberlakuan Undang-Undang tersebut justru menjadi sangat urgent untuk menyelamatkan lingkungan yang nantinya akan menyelamatkan keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Sementara itu industri migas merupakan industri yang menjadi tumpuan hajat hidup orang banyak, begitu tergantungnya kita terhadap keberadaan minyak dan gas sehingga tak dapat kita bayangkan jika dalam satu hari saja pasokan bahan bakar minyak dan gas dihentikan secara nasional. Berapa juta orang yang bergantung dengan adanya gas elpiji untuk kebutuhan rumah tangga, berapa juta kendaraan tidak dapat beroperasi, sehingga peradaban manusia yang ada sekarang seolah-olah kembali ke zaman sebelum revolusi industri. Melihat kondisi ini, maka industri migas pun tidak serta merta dikurangi secara drastis.
Jadi perlu kearifan dan pemikiran yang komprehensif dalam menyikapi permasalahan lingkungan baik tingkat nasional, regional, maupun global.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan membuat sebuah skripsi yang berjudul : PENGARUH PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP INDUSTRI MIGAS NASIONAL SERTA KAITANNYA DENGAN AGENDA KONSERVASI TINGKAT GLOBAL

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1) Apa pengaruh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap industri migas nasional ?
2) Bagaimanakah kaitan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan agenda konservasi tingkat global ?

C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Untuk menghindari agar pembahasan permasalahan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari masalah pokok, maka diberikan batasan atau ruang lingkup yang berkaitan dengan judul. Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini yaitu khusus mengenai pengaruh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap industri migas nasional yang dalam hal ini akan diambil sampel yaitu Pertamina dan beberapa kaitan undang-undang tersebut terhadap agenda konservasi global.
Adapun tujuan penelitian ini selain sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang juga untuk melengkapi pengetahuan teoritis yang diperoleh selama studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang khususnya Hukum Lingkungan.
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pengaruh pemberlakuan suatu undang-undang terhadap berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Metodologi
Selaras dengan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis yang bersifat deskriptif. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan, dalam usaha memperoleh data sekunder dan juga penulis mempelajari serta menelaah beberapa bahan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang ada.
2. Penelitian lapangan, dalam usaha memperoleh data primer dengan cara penulis melakukan penelitian dengan metode wawancara secara langsung dengan narasumber yaitu Bagian Humas Pertamina RU III Plaju Palembang, Kepala Balai Taman Nasional Sembilang, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, dan Direktur Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Teknis pengelolahan data dilakukan dengan menganalisis isi yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan untuk selanjutnya dikontruksikan dalam suatu kesimpulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar