Selamat Datang di Blog saya yang sederhana,Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jumat, 23 November 2012

Tanggung Jawab Pengurus CV dalam Kepailitan (2)



Tanggung Jawab Pengurus CV Jika Dinyatakan Pailit Oleh Putusan Pengadilan Niaga


Postingan ini adalah sambungan dari postingan sebelumnya Tanggung Jawab Pengurus CV dalam Kepailitan (1). Jika pada postingan sebelumnya kita sudah membahas tentang Pengurus CV dan CV dalam keadaan pailit, maka kali ini kita bahas bagaimana tanggung jawab pengurus CV jika dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
 
Tanggung jawab pengurus CV erat kaitannya dengan hubungan hukum yang terjadi pada CV itu, baik secara intern maupun secara ekstern. Hubungan hukum secara intern yang terjadi pada CV adalah hubungan hukum mengenai perikatan-perikatan yang ada di antara sekutu komplementer dan sekutu komanditrer. Dasar dari hubungan ini adalah tentang hal-hal yang telah disepakati antara masing-masing sekutu yang dimuat dalam Anggaran Dasar CV sehingga nantinya akte pendirian tersebut dapat dijadikan sebagai aturan intern yang mengikat para sekutu.

Ketentuan hukum yang terbatas mengenai CV mengakibatkan hubungan intern tidak cukup apabila dijelaskan dengan menggunakan landasan hukum dari KUHD saja akan tetapi juga dapat dicari ketentuan dalam KUHPerdata.

Mengingat kembali bahwa CV pada hakekatnya adalah bentuk khusus dari firma, dan firma merupakan bagian dari bentuk persekutuan perdata / maatschap, maka secara tidak langsung beberapa hal yang mengatur CV banyak mengacu pada ketentuan hukum mengenai maatschap, yaitu yang diatur dalam Bagian Kedua Bab VIII Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1624 sampai dengan Pasal 1641.

Pasal-pasal tersebut secara garis besar mengatur hubungan intern CV meliputi :
a.    Pemasukan modal
Diatur dalam Pasal 1625 KUHPerdata. Benda pemasukan dapat berupa benda fisik, uang dan tenaga manusia (fisik dan/atau pikiran);
b.    Pembagian untung rugi
Diatur dalam Pasal 1633 dan 1634 KUHPerdata. Biasanya mengenai kedua hal ini diatur dalam perjanjian pendirian persekutuan. Kalau dalam perjanjian pendirian persekutuan tidak diatur barulah aturan tersebut di atas berlaku.

Pasal yang paling awal mengatur hubungan intern dimulai dari Pasal 1624 KUHPerdata bahwa pendirian persekutuan cukup dengan tercapainya kehendak secara lisan. Syarat tertulis yaitu akta notariil sebenarnya tidaklah diminta oleh undang-undang, cukup dilakukan dengan konsensus.

Ketentuan ini secara tidak langsung juga berlaku bagi pendirian CV, yaitu pendirian CV dapat dilakukan dengan cara konsensus/lisan. Namun para pengusaha dewasa ini telah banyak meninggalkan sistem kerjasama yang tidak tertulis/lisan, yang didasarkan pada konsensus semata-mata, mereka telah banyak menggunakan sistem kontraktual, karena dirasakan lebih aman serta lebih dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak di samping kepentingan pihak ketiga. Kendatipun unsur kepercayaan dan itikad baik itu masih melekat pada setiap hubungan bisnis, namun hukum kebiasaan dunia usaha sudah banyak meningalkan cara-cara non kontraktual di dalam mengawali setiap kerjasama usaha.

CV yang telah didirikan oleh para sekutu pendiri, selanjutnya tentulah ada kesanggupan dari sekutu komanditer memberikan pemasukan (inbreng) modal kepada persekutuan sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya. Pasal 1625 KUHPerdata mengatur mengenai pemasukan, baik berupa pemasukan uang, benda/barang dalam arti fisik maupun hanya berupa kemanfaatannya saja (het genot) ataupun pemasukan yang berwujud tenaga kerja atau pikiran. Pasal ini tidak hanya mengatur mengenai keharusan untuk memasukkan modal, akan tetapi juga kewajiban untuk menanggung serta menjaga terhadap adanya cacat barang yang dimasukkan, baik cacat yang ada pada barang itu maupun cacat dari gangguan pihak ketiga. Apabila seorang sekutu tidak dapat tepat waktu memasukkan modal dari yang diperjanjikan, maka Pasal 1626 ayat (1) membebankan bunga pada sekutu tersebut. Sekutu yang meminjam uang dari kas persekutuan, dia harus membayar bunga terhitung mulai saat ia meminjam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1628 ayat (2) KUHPerdata.

Asas terpenting yang harus dijunjung tinggi pada setiap bentuk perkumpulan adalah asas kepentingan bersama yang tersimpul dalam Pasal 1628-1630 KUHPerdata. Asas kepentingan bersama bermakna bahwa tiap-tiap nggota persekutuan tidak diperbolehkan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan anggota persekutuan, oleh karena asas ini berkaitan dengan adanya keuntungan yang nantinya akan dinikmati oleh semua anggota dan juga terhadap terjadinya kerugian/hutang-hutang yang akan menjadi beban tanggungan semua anggota. Tapi memang sudah selayaknya semua anggota mengutamakan kepentingan bersama sekalipun tanpa adanya ketentuan pasal-pasal tersebut.

Salah satu kepentingan bersama yang ingin dicapai persekutuan adalah mendapatkan keuntungan/laba perusahaan yang sebesar-besarnya. Keuntungan ini juga harus dibagi di antara para sekutu. Ketentuan KUHPerdata yang mengatur soal pembagian keuntungan dan kerugian tercantum dalam Pasal 1633-1635 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1633 KUHPerdata, cara membagi keuntungan dan kerugian itu sebaiknya diatur dalam pendirian perusahaan. Pada badan usaha berbentuk CV sebaiknya diatur dalam akta pendirian CV atau Anggaran Dasar CV. Namun bila tidak ada perjanjian mengenai cara membagi keuntungan dan kerugian, maka menurut Pasal 1633 ayat (1) KUHPerdata pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan menetapkan asas keseimbangan pemasukan, dengan pengertian bahwa pemasukan berupa tenaga kerja akan disamakan dengan pemasukan uang atau benda terkecil (Pasal 1633 ayat (2) KUHPerdata).

Apabila CV mengalami kerugian maka para sekutu komanditer juga akan menanggung beban kerugian itu tetapi tidak perlu membayar kerugian sampai melebihi batas pemasukannya, lain sekali dengan tanggung jawab sekutu komplementer, beban itu sampai menjangkau harta kekayaan pribadinya dapat digunakan sebagai jaminan pelunasan hutang-hutang persekutuan (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata).

Kedudukan sekutu komanditer mengenai keuntungan dan kerugian perusahaan, tidak diperbolehkan dituntut agar menambah pemasukannya serta tidak berhak meminta kembali keuntungan yang telah diterimanya (Pasal 1625 KUHPerdata) . Sedangkan kedudukan sekutu komplementer dapat dipersamakan dengan kedudukan para firmant dalam persekutuan firma, yaitu mempunyai beban tanggung jawab saling tanggung menanggung secara penuh di antara para sekutu firma.

Para sekutu baik sekutu komanditer maupun sekutu komplementer perlu memusyawarahkan kembali di dalam rapat anggota/pengurus agar sekutu yang hanya memasukkan tenaga kerja dan pikiran mendapat penilaian yang adil. Namun yang jelas, secara keseluruhan tidaklah diperbolehkan untuk menetapkan pembagian keuntungan dan kerugian pada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat (1) KUHPerdata). Sebaliknya, diperbolehkan untuk membebankan kerugian pada salah satu sekutu saja (Pasal 1635 ayat (1) KUHPerdata), tetapi dilarang memberikan keuntungan hanya pada salah seoarang sekutu saja (Pasal 1635 ayat (2) KHUPerdata), karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan suatu persekutuan yaitu mengutamakan kepentingan bersama. Dilarang juga melakukan penetapan kerugian maupun keuntungan pada pihak ketiga (Pasal 1634 KUHPerdata).

Dalam konteks hubungan hukum para sekutu ini erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawabndi antara para sekutu. Berdasarkan hubungan hukum yang dapat dilakukan oleh sekutu komanditer, yaitu tidak diperkenankan untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga maka tanggung jawab sekutu komanditer juga merupakan tanggung jawab ke dalam (intern) yaitu terhadap sekutu komplementer yaitu hanya menyerahkan pemasukan yang telah diperjanjikan (Pasal 19 KUHD). Sekutu komanditer baru bertanggungjawab keluar perusahaan, apabila ia melanggar Pasal 20 KUHD.

Di dalam institusi yang berbentuk CV, di antara kedua macam sekutu hanya sekutu komplementer/pengurus saja yang dapat mengadakan hubungan hukum ekstern dengan pihak luar, sedangkan sekutu komanditer tidak mempunyai kewenangan mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Perbedaan kewenangan melakukan hubungan hukum dari kedua sekutu tersebut erat hubungannya dengan kewenangan mewakili dan tanggung jawab yang ada pada kedua sekutu.

Pasal 20 ayat (1) KUHD menentukan bahwa sekutu komanditer tidak boleh menggunakan namanya sebagai nama firma, selanjutnya dalam ayat (2) ditegaskan bahwa sekutu komanditer tidak boleh melaksanakan tugas pengurusan (beheern), walaupun dengan menggunakan surat kuasa. Apabila sekutu komanditer melanggar ketentuan ini, maka menurut Pasal 21 KUHD, sekutu komanditer tersebut mempunyai tanggung jawab secara penuh sebagaimana tanggung jawab sekutu komplementer.

Rasio adanya ketentuan tersebut adalah digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dari sekutu komanditer bilamana sekutu komanditer diperkenankan melakukan tugas kepengurusan, sementara itu tanggung jawab yang ada pada sekutu komanditer adalah tanggung jawab yang terbatas sifatnya, dengan begitu pihak ketiga dapat dirugikan karena perbuatan sekutu komanditer tersebut. Apabila sekutu komanditer tetap menjalankan tugas kepengurusan maka tanggung jawabnya tidak dapat dibatasi secara intern terbatas pada pemasukannya saja , akan tetapi meliputi semua kekayaan yang dimiliki bahkan sampai menjangkau pada harta kekayan pribadinya .

Atas dasar prinsip Pasal 19 KUHD, maka pihak ketiga tidak diperbolehkan menagih hutang persekutuan langsung pada sekutu komanditer karena sekutu komplementerlah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pihak ketiga. Cukup relevan apabila pihak ketiga tidak diperkenankan menagih secara langsung kepada sekutu komanditer, mengingat sekutu komanditer tidak dikenal pihak luar (pihak ketiga) dan tidak berwenang melakukan hubungan hukum keluar perusahaan sehingga tanggung jawabnya juga tidak sampai kepada pihak ketiga (ekstern), akan tetapi tanggung jawab terhadap intern persekutuan.

Sebagaimana diketahui, dalam persekutuan komanditer atau CV bahwa tanggung jawab sekutu komplementer yang juga pemilik persekutuan adalah mutlak, artinya tidak hanya sebesar pemasukan (inbreng) modal saja tapi sampai kepada kekayaan pribadi. Apabila sekutu komplementer itu lebih dari satu, maka tanggung jawab menjadi mutlak dan tanggung renteng. Mutlak artinya sekutu komplementer wajib mempertanggung jawabkan persekutuannya hingga ke harta pribadinya, sementara tanggung renteng artinya tanggung jawab itu melibatkan sekutu komplementer yang lain, yang mungkin tidak tahu menahu hal-hal yang telah dilakukan oleh sekutu komplementer yang lainnya. Oleh sebab itu setiap pihak yang dirugikan, termasuk persekutuan itu sendiri, dan kreditor dapat mengajukan gugatan terhadap pengurus atau pemilik persekutuan, atas kesalahan dan atau kelalaiannya, untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita.

Dalam hal harta kekayaan persekutuan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga, dengan mengingat asas pertanggungjawaban dalam CV yang bersifat mutlak, maka tidak menjadi keharusan pembuktian kepada diri penggugat mengenai adanya kelalaian atau kesalahan tersebut.

Rabu, 21 November 2012

Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Obyek Wakaf (2)

Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Obyek Wakaf (2)


Rahasia Dagang

Ketentuan Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang (Pasal 1 angka 1).

Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan Undang-undang ini. Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum (Pasal 2). Pemilik Rahasia dagang memiliki hak untuk :
(1)   Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
(2)   Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang bahwa Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan :
1)     pewarisan;
2)     hibah;
3)     wasiat;
4)     perjanjian tertulis; atau
5)     sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dokumen tentang Pengalihan hak. Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Hak Rahasia Dagang dapat diwakafkan berdasarkan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Desain Industri

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakannya sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desaian Industri.

Hak Desain Industri sebagai bagian dari HKI, dapat diwakafkan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Peralihan Hak Desain Industri ini didasarkan pada ketentuan Pasal 31 ayata (1) huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 bahwa Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, bahwa Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik (Pasal 1 angka 1).

Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 2).

Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 3). Yang berhak memperoleh Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain (Pasal 5 ayat 1). Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain (Pasal 5 ayat 2). Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut :
(1)   Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan :
a.      Pewarisan;
b.     Hibah;
c.      Wasiat;
d.     Perjanjian tertulis
e.      Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
(2)   Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disertai dokumen tentang pengalihan hak.
(3)   Segala bentuk pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(4)   Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(5)   Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu, Sirkuit Terpadu dapat diwakafkan karna sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Paten
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 angka 2).

Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi (Pasal 1 angka 3). Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan (Pasal 10 ayat1).

 

Merek

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 juga disebutkan tentang Merek Dagang, Merek Jasa, dan Merek Kolektif. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya (Pasal 1 angka 2). Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (Pasal 1 angka 3). Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Pasal 1 angka 4).

Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Merek terdaftar berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Selanjutnya Hak Merek dapat dialihkan berdasarkan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :
(1)   Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena :
a.      Pewarisan;
b.     Wasiat;
c.      Hibah;
d.     Perjanjian; atau
e.      Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2)   Pengalihan hak atas merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek.
(3)   Permohonan pengalihan hak atas merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen yang mendukungnya.
(4)   Pengalihan hak atas merek yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(5)   Pengalihan hak atas merek terdaftar yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Merek tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(6)   Pencatatan pengalihan hak atas Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Selanjutnya pengalihan hak merek dalam Pasal 41 UU No. 15 Tahun 2001 menyebutkan :
(1)   pengalihan hak atas merek terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya yang terkait dengan merek tersebut.
(2)   Hak atas merek jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan dapat dialihkan dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kuallitas pemberian jasa.

Pasal 42 UU No. 15 Tahun 2001 : Pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa.

Dari berbagai ketentuan diatas, bahwa ketentuan peralihan HKI untuk diwakafkan memiliki dasar hukum yang dibenarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepemilikan HKI dari pemilik yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku setelah diwakafkan menjadi milik peruntukan sesuai dengan akad wakaf yang disetujui dari pemilik HKI sebagai wakif. HKI yang diwakafkan adalah sebelumnya sudah didaftarkan ke Dirjen HKI dan ketika terjadi proses peralihan untuk diwakafkan, maka harus tercantum jelas jenis HKI yang wakafkan, tujuan peruntukaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang wakaf, serta didaftarkan ke Dirjen HKI. Selama ini dalam praktek belum ditemukan adanya pendaftaran HKI yang diwakafkan ke Dirjen HKI. Belum ada aturan khusus mengenai hal tersebut. Sehingga dengan demikian diharapkan ke depan pemerintah mengantipasi hal tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam aturan operasionalnya.