BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya gerakan reformasi pada awal
tahun 1998 telah mengangkat istilah “Supremasi Hukum” dan “Rule of Law” menjadi
sangat populer sehingga mewarnai berbagai polemik dan perdebatan di media massa
baik cetak, elektronik maupun “cyber”, dengan ekspektasi yang penuh optimisme
dengan harapan hukum dapat berperan aktif dalam mewarnai proses demokratisasi yang menjadi hakekat
gerakan reformasi yang juga mengandung makna demokratisasi hukum sebagai
sarana demokrasi.
Hukum atau lebih tepatnya sistem hukum
dalam konteks sosial tidak hanya dilihat sebagai sektor kehidupan nasional yang
harus dijadikan obyek, sasaran atau veriabel dependen dari reformasi, tetapi
setelah mengalami reformasi juga sangat diharapkan untuk dapat didayagunakan
peran dan fungsinya sebagai subyek, sarana atau variabel independen atau
sebagai instrumen proses reformasi yang pada dasarnya merupakan proses aktualisasi berbagai indeks demokrasi
yang sebelumnya karena kesalahan kolektif kita banyak dimanipulasi.
Perkembangan proses reformasi terhadap
elemen substansif dan struktural telah
mengalami proses perubahan yang
signifikan, yang utamanya mengarah pada bidang-bidang hukum yang mengatur
elemen-elemen strategis dalam kehidupan
demokrasi seperti perundang-undangan di bidang politik (Undang-Undang Pemilu
dan partai politiknya serta Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat), otonomi daerah, dan juga usaha menyatukan “Judicial Power”
dengan “Court Administration” di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung yang
sebelum reformasi untuk “Court Administration”
terpisah dari Mahkamah Agung karena berada dalam tugas dan kewenangan
Departemen Kehakiman. Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak lagi dibawah eksekutif dan merupakan satu kesatuan
yang tercakup dalam 4 seri amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang pada
dasarnya ingin membenahi mekanisme.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah
melakukan pembaruan seluruh sistem ketatanegaraan secara mendasar termasuk
sistem kekuasaan Kehakiman. Lewat perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945
telah lahir dua lembaga negara baru dalam lingkungan kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial disamping Mahkamah
Agung beserta badan-badan peradilan dibawahnya.
“Check
and Balances System” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diantara kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kekuasaan dan pelembagaan yudikatif
memunculkan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang memperkuat fungsi kekuasaan yudikatif disamping Mahkamah
Agung beserta badan-badan peradilan yang bernaung dibawahnya. Mahkamah Konstitusi keberadaannya
dijamin oleh Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
dan kemudian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sedang Komisi Yudisial
keberadaannya dijamin oleh Pasal 24 b Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
dan kemudian diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Kehadiran Komisi Yudisial dengan
otoritas utamanya melakukan rekruitmen calon hakim agung dan otoritas lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta
perilaku hakim (Pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945) ternyata menimbulkan
masalah baru berupa ketegangan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial.
Ketegangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tersebut bermuara pada
permohonan Yudicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh 31 hakim agung.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
pada intinya menyatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam
obyek pengawasan Komisi Yudisial selain itu segala ketentuan yang menyangkut
pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab Undang-Undang Komisi
Yudisial tersebut tidak rinci mengatur pengawasan, subyek yang mengawasi, obyek
yang diawasi, instrumen yang digunakan, dan bagaimana proses pengawasan
dilaksanakan. Akibatnya semua ketentuan tentang pengawasan menjadi kabur dan
menimbulkan ketidakpasitan hukum dalam pelaksanaannya.
Menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, tentu dipersiapan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial. Namun
demikian bukan hanya Undang-Undang Komisi Yudisial yang harus direvisi
melainkan semua Undang-Undang yang terkait dengan masalah kekuasaan kehakiman
harus di setarakan. Dan pada akhirnya diharapkan tidak ada lagi konflik
kewenangan antara lembaga Yudikatif.
Pembentukan Komisi Yudisial yang diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga
peradilan pada Mahkamah Agung. Sebab penyatuan atap berpotensi menimbulkan
monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Tindakan Komisi Yudisial
dalam melakukan fungsi pengawasan tersebut ternyata mendapat tanggapan negatif
dari Mahkamah Agung.
Tanggapan negatif dari Mahkamah Agung
tersebut bila ditelusuri berasal dari adanya kekhawatiran bahwa tugas-tugas
Komisi Yudisial telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang.
Mengingat Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945. Sedang
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman), yang pada akhirnya berujung pada
permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial seperti
diuraikan di atas. Dari uraian di atas tergambar adanya ketidakharmonisan atau
perbedaan pendapat yang mengarah konflik kepentingan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang keberadaannya/eksistensinya diatur oleh Undang-Undang
Dasar 1945 hasil amandemen.
Berdasarkan uraian di atas penulis
tertarik menulis makalah dengan judul RELEVANSI
KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PENGAWASAN HAKIM.
B.
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
masalah di atas, permasalahan yang akan
dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
mekanisme pengawasan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial?
2. Apa
perbedaan kewenangan pengawasan hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar