Selamat Datang di Blog saya yang sederhana,Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jumat, 23 November 2012

Tanggung Jawab Pengurus CV dalam Kepailitan (2)



Tanggung Jawab Pengurus CV Jika Dinyatakan Pailit Oleh Putusan Pengadilan Niaga


Postingan ini adalah sambungan dari postingan sebelumnya Tanggung Jawab Pengurus CV dalam Kepailitan (1). Jika pada postingan sebelumnya kita sudah membahas tentang Pengurus CV dan CV dalam keadaan pailit, maka kali ini kita bahas bagaimana tanggung jawab pengurus CV jika dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
 
Tanggung jawab pengurus CV erat kaitannya dengan hubungan hukum yang terjadi pada CV itu, baik secara intern maupun secara ekstern. Hubungan hukum secara intern yang terjadi pada CV adalah hubungan hukum mengenai perikatan-perikatan yang ada di antara sekutu komplementer dan sekutu komanditrer. Dasar dari hubungan ini adalah tentang hal-hal yang telah disepakati antara masing-masing sekutu yang dimuat dalam Anggaran Dasar CV sehingga nantinya akte pendirian tersebut dapat dijadikan sebagai aturan intern yang mengikat para sekutu.

Ketentuan hukum yang terbatas mengenai CV mengakibatkan hubungan intern tidak cukup apabila dijelaskan dengan menggunakan landasan hukum dari KUHD saja akan tetapi juga dapat dicari ketentuan dalam KUHPerdata.

Mengingat kembali bahwa CV pada hakekatnya adalah bentuk khusus dari firma, dan firma merupakan bagian dari bentuk persekutuan perdata / maatschap, maka secara tidak langsung beberapa hal yang mengatur CV banyak mengacu pada ketentuan hukum mengenai maatschap, yaitu yang diatur dalam Bagian Kedua Bab VIII Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1624 sampai dengan Pasal 1641.

Pasal-pasal tersebut secara garis besar mengatur hubungan intern CV meliputi :
a.    Pemasukan modal
Diatur dalam Pasal 1625 KUHPerdata. Benda pemasukan dapat berupa benda fisik, uang dan tenaga manusia (fisik dan/atau pikiran);
b.    Pembagian untung rugi
Diatur dalam Pasal 1633 dan 1634 KUHPerdata. Biasanya mengenai kedua hal ini diatur dalam perjanjian pendirian persekutuan. Kalau dalam perjanjian pendirian persekutuan tidak diatur barulah aturan tersebut di atas berlaku.

Pasal yang paling awal mengatur hubungan intern dimulai dari Pasal 1624 KUHPerdata bahwa pendirian persekutuan cukup dengan tercapainya kehendak secara lisan. Syarat tertulis yaitu akta notariil sebenarnya tidaklah diminta oleh undang-undang, cukup dilakukan dengan konsensus.

Ketentuan ini secara tidak langsung juga berlaku bagi pendirian CV, yaitu pendirian CV dapat dilakukan dengan cara konsensus/lisan. Namun para pengusaha dewasa ini telah banyak meninggalkan sistem kerjasama yang tidak tertulis/lisan, yang didasarkan pada konsensus semata-mata, mereka telah banyak menggunakan sistem kontraktual, karena dirasakan lebih aman serta lebih dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak di samping kepentingan pihak ketiga. Kendatipun unsur kepercayaan dan itikad baik itu masih melekat pada setiap hubungan bisnis, namun hukum kebiasaan dunia usaha sudah banyak meningalkan cara-cara non kontraktual di dalam mengawali setiap kerjasama usaha.

CV yang telah didirikan oleh para sekutu pendiri, selanjutnya tentulah ada kesanggupan dari sekutu komanditer memberikan pemasukan (inbreng) modal kepada persekutuan sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya. Pasal 1625 KUHPerdata mengatur mengenai pemasukan, baik berupa pemasukan uang, benda/barang dalam arti fisik maupun hanya berupa kemanfaatannya saja (het genot) ataupun pemasukan yang berwujud tenaga kerja atau pikiran. Pasal ini tidak hanya mengatur mengenai keharusan untuk memasukkan modal, akan tetapi juga kewajiban untuk menanggung serta menjaga terhadap adanya cacat barang yang dimasukkan, baik cacat yang ada pada barang itu maupun cacat dari gangguan pihak ketiga. Apabila seorang sekutu tidak dapat tepat waktu memasukkan modal dari yang diperjanjikan, maka Pasal 1626 ayat (1) membebankan bunga pada sekutu tersebut. Sekutu yang meminjam uang dari kas persekutuan, dia harus membayar bunga terhitung mulai saat ia meminjam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1628 ayat (2) KUHPerdata.

Asas terpenting yang harus dijunjung tinggi pada setiap bentuk perkumpulan adalah asas kepentingan bersama yang tersimpul dalam Pasal 1628-1630 KUHPerdata. Asas kepentingan bersama bermakna bahwa tiap-tiap nggota persekutuan tidak diperbolehkan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan anggota persekutuan, oleh karena asas ini berkaitan dengan adanya keuntungan yang nantinya akan dinikmati oleh semua anggota dan juga terhadap terjadinya kerugian/hutang-hutang yang akan menjadi beban tanggungan semua anggota. Tapi memang sudah selayaknya semua anggota mengutamakan kepentingan bersama sekalipun tanpa adanya ketentuan pasal-pasal tersebut.

Salah satu kepentingan bersama yang ingin dicapai persekutuan adalah mendapatkan keuntungan/laba perusahaan yang sebesar-besarnya. Keuntungan ini juga harus dibagi di antara para sekutu. Ketentuan KUHPerdata yang mengatur soal pembagian keuntungan dan kerugian tercantum dalam Pasal 1633-1635 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1633 KUHPerdata, cara membagi keuntungan dan kerugian itu sebaiknya diatur dalam pendirian perusahaan. Pada badan usaha berbentuk CV sebaiknya diatur dalam akta pendirian CV atau Anggaran Dasar CV. Namun bila tidak ada perjanjian mengenai cara membagi keuntungan dan kerugian, maka menurut Pasal 1633 ayat (1) KUHPerdata pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan menetapkan asas keseimbangan pemasukan, dengan pengertian bahwa pemasukan berupa tenaga kerja akan disamakan dengan pemasukan uang atau benda terkecil (Pasal 1633 ayat (2) KUHPerdata).

Apabila CV mengalami kerugian maka para sekutu komanditer juga akan menanggung beban kerugian itu tetapi tidak perlu membayar kerugian sampai melebihi batas pemasukannya, lain sekali dengan tanggung jawab sekutu komplementer, beban itu sampai menjangkau harta kekayaan pribadinya dapat digunakan sebagai jaminan pelunasan hutang-hutang persekutuan (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata).

Kedudukan sekutu komanditer mengenai keuntungan dan kerugian perusahaan, tidak diperbolehkan dituntut agar menambah pemasukannya serta tidak berhak meminta kembali keuntungan yang telah diterimanya (Pasal 1625 KUHPerdata) . Sedangkan kedudukan sekutu komplementer dapat dipersamakan dengan kedudukan para firmant dalam persekutuan firma, yaitu mempunyai beban tanggung jawab saling tanggung menanggung secara penuh di antara para sekutu firma.

Para sekutu baik sekutu komanditer maupun sekutu komplementer perlu memusyawarahkan kembali di dalam rapat anggota/pengurus agar sekutu yang hanya memasukkan tenaga kerja dan pikiran mendapat penilaian yang adil. Namun yang jelas, secara keseluruhan tidaklah diperbolehkan untuk menetapkan pembagian keuntungan dan kerugian pada pihak ketiga (Pasal 1634 ayat (1) KUHPerdata). Sebaliknya, diperbolehkan untuk membebankan kerugian pada salah satu sekutu saja (Pasal 1635 ayat (1) KUHPerdata), tetapi dilarang memberikan keuntungan hanya pada salah seoarang sekutu saja (Pasal 1635 ayat (2) KHUPerdata), karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan suatu persekutuan yaitu mengutamakan kepentingan bersama. Dilarang juga melakukan penetapan kerugian maupun keuntungan pada pihak ketiga (Pasal 1634 KUHPerdata).

Dalam konteks hubungan hukum para sekutu ini erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawabndi antara para sekutu. Berdasarkan hubungan hukum yang dapat dilakukan oleh sekutu komanditer, yaitu tidak diperkenankan untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga maka tanggung jawab sekutu komanditer juga merupakan tanggung jawab ke dalam (intern) yaitu terhadap sekutu komplementer yaitu hanya menyerahkan pemasukan yang telah diperjanjikan (Pasal 19 KUHD). Sekutu komanditer baru bertanggungjawab keluar perusahaan, apabila ia melanggar Pasal 20 KUHD.

Di dalam institusi yang berbentuk CV, di antara kedua macam sekutu hanya sekutu komplementer/pengurus saja yang dapat mengadakan hubungan hukum ekstern dengan pihak luar, sedangkan sekutu komanditer tidak mempunyai kewenangan mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Perbedaan kewenangan melakukan hubungan hukum dari kedua sekutu tersebut erat hubungannya dengan kewenangan mewakili dan tanggung jawab yang ada pada kedua sekutu.

Pasal 20 ayat (1) KUHD menentukan bahwa sekutu komanditer tidak boleh menggunakan namanya sebagai nama firma, selanjutnya dalam ayat (2) ditegaskan bahwa sekutu komanditer tidak boleh melaksanakan tugas pengurusan (beheern), walaupun dengan menggunakan surat kuasa. Apabila sekutu komanditer melanggar ketentuan ini, maka menurut Pasal 21 KUHD, sekutu komanditer tersebut mempunyai tanggung jawab secara penuh sebagaimana tanggung jawab sekutu komplementer.

Rasio adanya ketentuan tersebut adalah digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dari sekutu komanditer bilamana sekutu komanditer diperkenankan melakukan tugas kepengurusan, sementara itu tanggung jawab yang ada pada sekutu komanditer adalah tanggung jawab yang terbatas sifatnya, dengan begitu pihak ketiga dapat dirugikan karena perbuatan sekutu komanditer tersebut. Apabila sekutu komanditer tetap menjalankan tugas kepengurusan maka tanggung jawabnya tidak dapat dibatasi secara intern terbatas pada pemasukannya saja , akan tetapi meliputi semua kekayaan yang dimiliki bahkan sampai menjangkau pada harta kekayan pribadinya .

Atas dasar prinsip Pasal 19 KUHD, maka pihak ketiga tidak diperbolehkan menagih hutang persekutuan langsung pada sekutu komanditer karena sekutu komplementerlah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pihak ketiga. Cukup relevan apabila pihak ketiga tidak diperkenankan menagih secara langsung kepada sekutu komanditer, mengingat sekutu komanditer tidak dikenal pihak luar (pihak ketiga) dan tidak berwenang melakukan hubungan hukum keluar perusahaan sehingga tanggung jawabnya juga tidak sampai kepada pihak ketiga (ekstern), akan tetapi tanggung jawab terhadap intern persekutuan.

Sebagaimana diketahui, dalam persekutuan komanditer atau CV bahwa tanggung jawab sekutu komplementer yang juga pemilik persekutuan adalah mutlak, artinya tidak hanya sebesar pemasukan (inbreng) modal saja tapi sampai kepada kekayaan pribadi. Apabila sekutu komplementer itu lebih dari satu, maka tanggung jawab menjadi mutlak dan tanggung renteng. Mutlak artinya sekutu komplementer wajib mempertanggung jawabkan persekutuannya hingga ke harta pribadinya, sementara tanggung renteng artinya tanggung jawab itu melibatkan sekutu komplementer yang lain, yang mungkin tidak tahu menahu hal-hal yang telah dilakukan oleh sekutu komplementer yang lainnya. Oleh sebab itu setiap pihak yang dirugikan, termasuk persekutuan itu sendiri, dan kreditor dapat mengajukan gugatan terhadap pengurus atau pemilik persekutuan, atas kesalahan dan atau kelalaiannya, untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita.

Dalam hal harta kekayaan persekutuan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga, dengan mengingat asas pertanggungjawaban dalam CV yang bersifat mutlak, maka tidak menjadi keharusan pembuktian kepada diri penggugat mengenai adanya kelalaian atau kesalahan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar